Senin, April 20, 2009

Menjadi Breastfeeding Mother: Sebuah Cita-cita Baru



  • Malam sebelum Pemilu (8/4), kakakku Desy melahirkan Adzhra Zafira Kadzeya ditengah bukaan tiga. Nama itu akhirnya dipilih dari banyak nama yang baru saja kunominasikan dari buku nama-nama bayi. Heran juga, udah 9 bulan ada waktu buat nyari nama dengan matang tapi malah keburu lahiran baru minta cariin buku nama bayi? Sementara aku yang belum hamil-hamil aja udah punya stok nama banyaaak banget buat anak pertama hingga ketiga kami nanti (halah ;))

“Mana bayinya?”, tanyaku sambil menengok kanan kiri dan tak mendapati tanda-tanda keberadaan bayi di ruang persalinan. “Masih di ruang bayi”, kata Desy. Aku dan suamiku lantas berupaya mengintip si bayi melalui kaca, mengobservasinya dari kejauhan dan setelah 10 menit memasang wajah bengong yang sama sekali tidak keren akhirnya observasi itu menghasilkan sebuah kesimpulan brilian: bahwa bayi itu tampak seperti halnya bayi-bayi pada umumnya! (Yeee..)

“Kapan bayi itu dikembalikan ke ibunya?”, tanyaku pada mama. “Setelah 6 jam baru boleh dimandikan. Tapi nanti pas Desy sudah masuk ruang perawatan bayinya mungkin langsung dikasih”. Seorang perawat lalu tampak meminta kami untuk membeli stok susu formula sekedar buat jaga-jaga jika bayinya menangis kehausan sementara ibunya masih belum pulih di ruang persalinan. Aku mendelik tidak setuju, “Masa udah mau langsung dikasih susu kaleng aja? Kenapa ga dicoba IMD aja?”. “Iya, nanti diusahakan..”, jawab Mama.

Sudah tiga keponakanku, dan tiap kali keponakanku lahir aku dirundung perasaan senang sekaligus sedih. Senang karena mereka melahirkan smoothly–meski Yuyun dioperasi Caesar. Sepupuku yang seumurku meninggal saat melahirkan, begitu juga bayinya, hingga agak membuat parno dengan momen melahirkan. Namun disisi lain, aku sering merasa gloomy karena ketiga keponakanku itu tidak ada yang sukses dikasih ASI, bahkan sejak awal kelahirannya. Bukannya ibu-ibu mereka tidak berupaya –aku bahkan sering miris sendiri melihat mereka mati-matian memerah ASInya yang menetes sedikit-sedikit bahkan kadang tidak sama sekali sementara bayinya nggak sabar dan melolong-lolong kehausan.

Masalah sebenarnya muncul karena si bayi telah dicekoki dengan susu formula bahkan sejak usianya satu hari. Karena mengisap susu dari botol sangat gampang –tanpa disedot juga susunya sudah menetes sendiri, maka si bayi merasa sangat tersiksa jika harus berjuang keras menyedot susu dari puting susu ibunya yang notabene tidak selalu bisa lancar keluar tiap saat. Dan karena ketidaktegaan terhadap si bayi yang menjerit-jerit kepayahan itulah, akhirnya susu formula jadi pilihan. Jadi boro-boro IMD (Inisiasi Menyusui Dini), bahkan ASI eksklusif saja tidak. Yang tidak eksklusifpun tidak karena produksi ASI lantas terhenti hingga harus menyetok susu formula tiap saat.

I don’t blame the mothers of the babies. Aku sendiri bahkan agak ‘parno’ dengan obsesiku untuk menjadi breatfeeding mother jika punya baby kelak. Bukan apa-apa, agaknya prosedur persalinan di banyak rumah sakit masih belum familiar dengan IMD, dan malah aku pernah curiga manajemen rumah sakit punya MoU dengan produsen susu formula untuk menciptakan kondisi dimana susu formula ‘terpaksa’ diberikan pada bayi pada hari-hari awal mereka terlahir ke dunia. At least ini bisnis profitable jika tiap ibu melahirkan akhirnya addict pada susu formula.

Faktor kedua yang membuat parno dengan obsesiku itu adalah: pola makanku yang tidak sehat dikuatirkan akan berpengaruh pada produksi ASI kelak. Apalagi konon sejak kecil aku jarang makan sayur dan masih suka bandel makan fast food dan junk food. Bukankah kualitas ASI sangat ditentukan dengan apa yang kita makan?

Aku mengenal IMD pertamakali dari talkshow Kick Andy di MetroTV yang menghadirkan Tiara Lestari sebagai icon pelaku IMD terhadap anak pertamanya yang merupakan cucu dari Dr. Utami Roesli, SpA,MBA,IBCLC, ketua umum Sentra Laktasi Indonesia. Waktu itu Tiara sedang come back dengan slogannya From Sexy to Elegant sebagai upaya memulihkan reputasinya pasca kontroversi atas penampilannya sebagai cover majalah Playboy internasional. Ternyata ‘prestasi’ Tiara tidak hanya di dunia modeling, karena sebagai seorang ibu boleh juga, dengan komitmennya untuk melakukan IMD pada bayinya, padahal ia menjalani persalinan Caesar dimana keberhasilan untuk melakukan IMD hanya 50 persen. “Setelah satu jam 20 menit menangis dan berteriak-teriak minta tolong, akhirnya tanpa dibantu siapapun, Rania berhasil menemukan puting susu ibunya dan menyusu sendiri. Ternyata bayi umur satu jam sudah memiliki survival instinct, nggak ada bedanya dengan kucing atau marmot yang lahir nggak pake bidan,” ungkap Tiara dalam blog pribadinya. Konon Sophie Navita dan Ami Gumelar juga berhasil melakukan IMD untuk anak mereka.

IMD; why and how?
Prosedur IMD sendiri sederhana. Saat bayi lahir, tali pusat dipotong, lalu di lap kering dan langsung diberikan pada ibu. Jangan memisahkan bayi dulu dari ibu (sementara di rumah-rumah sakit, pasca persalinan biasanya bayinya justru langsung dibawa kabur dari ibunya hingga sekian jam kemudian bahkan ada yang sampai besok paginya). Yang perlu di jaga adalah suhu ruangan, dan sebaiknya bayi memakai topi bayi karena disitu banyak keluar panas.

“Bukankah bayinya harus dihangatkan dulu suhu tubuhnya?”, tanya suamiku. Karena bayi itu ciptaan Tuhan, ternyata mekanisme pertahanan tubuhnya amat luar biasa. Konon, bila bayi kedinginan maka suhu tubuh sang ibu akan meningkat hangat sampai 2 derajat, dan jika bayi kepanasan otomatis suhu tubuh ibu menurun sampai 1 derajat.

Ini dia manfaat IMD:
1. Untuk mengurangi kegagalan menyusui. Anak yang diberi IMD dapat mudah sekali menyusui
kemudian, karena salah satu penyebab ASI kurang adalah karena bayi tidak langsung disusui. ASI diproduksi berdasarkan demand. Jika diambil banyak, akan diberikan banyak.
3. Selain mendapatkan kolostrum yang bermanfaat untuk bayi, meningkatkan kekebalan tubuh bayi, juga akan menurunkan angka kematian bayi yang baru lahir.
3. Gerakan bayi yang merangkak mencari puting susu dapat menekan rahim dan mengelurkan hormon yang membantu menghentikan pendarahan ibu.
4. Tentunya: meningkatkan emotional bonding antara ibu dan anak.

The core is, ASI ekslusif merupakan makanan terbaik bagi bayi. Namun karena kita maupun orang-orangtua kita kurang knowledgable tentang ini, tanpa kita sadari sudah menggangu proses kehidupan manusia mamalia. Banyak orang tua yang merasa kasihan dan tidak percaya seorang bayi yang baru lahir dapat mencari sendiri susu ibunya. Belum lagi kurang concernnya pihak medis untuk mendukung program ini. Dokter atau bidan tidak mau direpotkan dengan kegiatan ini sehingga akhirnya bayi tidak diberi kesempatan untuk melakukan ini.

Bekal untuk para calon ibu
Mengingat betapa besarnya manfaat IMD sekaligus kesulitannya, setidaknya ada dua hal yang jadi prasyarat untuk benar-benar bisa melaksanakannya kelak:
- Konsultasikan lebih awal keinginan kita untuk ber-IMD dengan dokter kandungan kita, dan pilih Rumah Sakit yang mendukung pemberian ASI
- Perlu PD kali ya. Kebayang kalo pada saat si baby menangis menjerit-jerit, kita nggak tega untuk membiarkannya berlama-lama nyari ASI sendiri. Oya, kekuatiran dan rasa ragu ternyata bisa menjadi penyebab ASI berkurang.

Inilah kado pertama yang bisa seorang ibu persembahkan pada sang buah hati. For further information, I reccomend you a book by Afifah Afra yang ditulisnya dengan suaminya yang seorang dokter yang membahas urgensi mengoptimalkan periode emas pada bayi dengan program stimulasi dan ASI eksklusif berjudul Mengukir Cinta di Lembar Putih. Meski kecil, buku ini sangat gamblang bicara tentang usia emas (golden ages), urgensi ASI, dan kiat sukses menyusui.

… karena menjadi breastfeeding mother sudah selayaknya dicita-citakan tiap wanita yang dikaruniakan sebuah karunia kelahiran anak..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any ideas to share?