Senin, April 06, 2009

Impulsive Buying: Dosa Besar Banyak Perempuan


Jalanlah ke mol pada akhir pekan, dan bisa dipastikan akan sulit sekali mencari areal parkir yang lowong saking padatnya pengunjung. Suatu kali saya mengungkapkan keheranan pada suami, “Ngapain aja sih Mas kerjaan orang-orang ini pada ngumpul di mol? Apa mereka nggak ada kerjaan?”, yang langsung ditimpali pria teman tidur saya itu dengan pertanyaan juga, “Lho, kita berdua ini, ngapain pada ke mol?”. “Kita kan ada perlu!”, jawab saya segera. “Lha iya, mereka juga ada perlu..”, selanya membuat saya manyun.

Tapi memang setelah saya ingat-ingat, saya adalah tipikal orang yang seringkali merasa ‘perlu’ ke mol, plaza, atau shopping centre manapun, dan jika sudah sampai disana saya selalu merasa ‘perlu’ untuk berbelanja, dan itu berarti merasa ‘perlu’ untuk memindahkan isi dompet ke kasir toko tersebut! Tampaknya mudah sekali bagi saya untuk menemukan alasan mengapa saya perlu barang-barang yang kemudian saya beli. “Oh iya, saya udah lama pengen beli kemeja putih karena yang lama udah pada nggak layak pakai”, “Sendalku udah buluk banget! Udah waktunya dipensiunkan..”, “Ih gelangnya antik deh! Matching kalo dipaduin dengan PDH cokelat hari kamis..”, dan seterusnya. Pendeknya saya jago berat dalam berargumentasi dengan diri sendiri dan suami untuk memenangkan perdebatan tentang: apakah barang ini layak dibeli?

Alhasil suami seringkali protes dengan kebiasaan impulsive buying saya itu. “Skala prioritas dong, Ay… “, nasihatnya yang biasanya saya aminkan untuk kemudian terlupakan lagi saat sudah berada di mol. Lantas beberapa pekan lalu, saat membereskan lemari pakaian saya seperti disentakkan oleh sebuah fakta yang mengagetkan. Ada banyak sekali baju yang baru saya beli yang bahkan belum pernah saya pakai sama sekali! Ada 2 buah bolero bahan rajut yang bahkan sampai sekarang saya nggak tau akan dipakai dalam momen apa yang kebetulan aja dibeli karena ada sale, 1 dress yang ogah banget dipakai karena amat sangat pasaran alias tampak dipakai semua orang yang lewat di jalan, 1 blus satin dengan model unik yang ternyata makenya nggak pede karena jadi kelihatan gendut, 1 dress bahan spandeks yang ‘amit-amit’ untuk dipakai karena warnanya yang bak pelangi, 1 blus rajut dan jins pensil yang ternyata amat full pressed body sementara saya nggak punya cukup kenekatan untuk mengenakannya (takut dirajam suami ;)) plus 1 buah tas cangklong berwarna putih yang kesemuanya sama sekali belum tersentuh! Ini belum termasuk dengan beberapa blus, kemeja dan tunik yang amat sangat jarang dipakai dengan berbagai ketidaksregan dan ketidakberesan yang saya temui pada barang-barang itu, hingga memperkuat alasan saya untuk hanya menumpuknya di lemari.

Saya lantas mengingat-ingat, kenapa ya shopping saya kok tidak efektif begitu? Dalam artian: mengapa saya banyak membeli barang-barang yang lantas saya sesali pembeliannya karena alasan A hingga Z?

Let’s see. Saya lantas menemukan bahwa, ada banyak sekali barang-barang yang saya belanjakan itu dengan dominasi ‘hawa nafsu’ alias tanpa pertimbangan yang matang. Just name it impulsive buying; berbelanja secara impulsif alias dengan spontanitas dan jarang disertai pemikiran mendalam -banyak yang menyebutnya lapar mata. Inilah dosa besar banyak perempuan-perempuan seperti saya. Sangat bertolak belakang dengan suami saya yang sekedar untuk membeli celana kaos oblong saja bisa berpikir sampai dua minggu! Sering sekali saya menggerutu karena bolak-balik dia melihat-lihat di toko tapi ujung-ujungnya berkata, “Ah, nggak usah dulu deh, kayaknya belum perlu..”. Hayyyah…

Tapi setidaknya saat ini saya sudah berpikir untuk insyaf ;). Amat dzalim jika saya wasting money untuk hal-hal yang tidak bermanfaat sementara banyak sekali orang diluar sana bahkan bolak-balik berpikir sekedar untuk membeli nasi karena uangnya tidak cukup. Boro-boro berpikir untuk membeli baju demi fashion! Oalah…

Nah, buat para perempuan dengan kecenderungan impulsive buying seperti saya, saya ingin sharing beberapa tips berdasarkan pengalaman selama menjadi impulsive buyer:

1. Jangan samakan manekin dengan Anda!

Kita sering sekali tertipu melihat betapa kerennya manekin dengan fashionable outfit yang kita pikir pasti keren sekali jika kita kenakan. Padahal faktanya manekin akan selalu tampak keren mengenakan apapun bahkan sarung sekalipun! Sementara kita-kita dengan tinggi badan ala kadarnya dan berat badan cukup memprihatinkan, kiranya lebih banyak mawas diri dan menahan ‘emosi’..

2. Make a note.

It’s cliché and will not work! Begitu mungkin teriakan banyak orang jika mendengar harus membuat ‘to-buy-list’, karena ujung-ujungnya toh akan banyak juga barang yang diluar daftar yang terbeli. Jadi percuma kan? Nah, disinilah perlunya seseorang berwibawa yang berkomitmen dengan kita untuk saling mengingatkan: bisa dalam bentuk suami, kekasih, atau kekasihnya teman (hehe, becanda). Meski kita bisa berdebat dan ‘minta dispensasi’, setidaknya nggak akan banyak-banyak banget selisihnya. Beda halnya jika berbelanja sendirian, atau malah berbelanja dengan teman yang hobi ngomporin, wahh dijamin malah banyak belanjaan diluar daftar yang ikutan terbeli. Jadi berapa uang yang kita habiskan untuk berbelanja akan sangat tergantung pada: siapa yang kita ajak untuk menemani kita belanja?

3. Sediakan kaki yang tidak gampang pegal.

Survey adalah prasyarat wajib sebelum memutuskan untuk bertransaksi. Untuk mendapatkan barang terbaik dengan harga paling kompetitif, kuncinya cuma sediakan waktu dan kaki yang nggak gampang pegal untuk keliling-keliling. So, wearing high heels is a big no-no! Cukuplah kaki kita terlihat seksi dengan sepatu/sendal berhak tinggi saat ngantor dan kondangan, tapi untuk shopping ‘kelas berat’, berbesar hatilah dengan mengenakan sandal teplek meski itu membuat orang-orang dengan tinggi seadanya seperti saya kelihatan jadi makin alakadarnya.

4. Asah bargaining skill.

Ini mutlak dipraktekkan tidak hanya untuk pasar tradisional atau pusat grosir tapi juga jika berbelanja di factory outlet, distro, dan butik. Cuma memang ‘gaya’ menawar kita yang membabi buta di pasar tradional –hingga bisa menawar hingga 70%- tidak bisa diterapkan di mol apalagi butik high class. Agar dipandang ‘berkelas’ saat belanja di tempat-tempat yang lebih eksklusif kita perlu menawar dengan gaya lebih elegan, “Oh, segitu? Mahal juga ya? Diskonnya berapa?”, dengan memasang wajah ‘bangsawan’ yang tak begitu butuh barang itu. Jika kita yakin harganya sekian, tembak saja, “Biasanya saya beli segini…”, “Harga biasa aja Mbak, saya kan udah langganan”, dan seterusnya. Kalau tawar-menawarnya alot, akhiri dengan harga yang kita rasa cukup pantas sebelum kita cabut . Kalau si penjual merasa OK dia akan memanggil agar balik lagi. Kalau nggak, artinya harga terakhir yang dia berikan itu sudah standar terendah. Tapi kalau saya sih, jika pramuniaganya sejak awal udah ngasih harga penawaran yang nggak make sense alias terlalu tinggi, saya suka ilfeel sendiri untuk sekedar menawar dan memilih untuk ngabur. Menurut saya sih, setinggi apapun harga penawaran, harus tetap reasonable.

5. Think about mixing and matching

Kita belanja baju untuk dipakai kan? Karenanya harus telah tersedia padanannya yang sesuai untuk di mix and match dengannya, hingga kita nggak kebingungan nanti mau dipakai dengan apa dan pada momen apa. Selucu apapun modelnya, kalau akhirnya tidak wearable, buat apa? Bayangkanlah, pada momen apa aja bisa dipakai, dan dipadukan dengan apa? Mix and match adalah skill ‘fardhu ain’ buat seorang fashionista. Meski saya nggak termasuk golongan itu, tapi saya percaya ini berlaku universal. Untuk kelihatan shining, kita nggak harus tampil lebay dengan mengeluarkan seluruh fashion item branded yang kita punya dari ujung kepala sampai kaki. Cobalah mix barang branded dengan dengan barang hunting dari lapak kaki lima misalnya.

6. Jangan pelihara gengsi.

Pilihan kemana akan berbelanja akan sangat ditentukan tentang apa yang akan dibelanjakan. Jika barang dengan kualitas yang sama bisa diperoleh di tempat-tempat alternatif namun dengan harga yang miring, kenapa mesti melangkahkan kaki ke butik kelas atas atau mol dengan fixed price demi prestise? Jika berhasil memperoleh barang yang sama dengan harga yang jauh lebih murah, harusnya kita bangga dong. Kecuali, jika kita memang hunting barang-barang kelas satu yang kebetulan memang tidak bisa disamakan kualitasnya dengan yang dijual di pusat grosir misalnya.

7. Jangan shopping untuk mengisi waktu luang.

Shopping lah karena memang ada tujuan untuk membeli apa, bukan hanya karena having nothing to do lalu melarikan diri ke mol utk shopping window. Yang ada bukan hanya jendela kita beli, tapi juga pintu-pintunya hingga atap gentengnya! Banyak dari kita yang mengusir rasa badmood dengan pergi shopping. Memang secara psikologi, belanja memicu aliran deras dopamin ke otak. Aliran itulah yang dirasakan ketika Anda jatuh cinta. Berbelanja juga bisa mengaktifkan endorfin. Dengan kata lain, tindakan berbelanja biasanya membuat orang merasa lebih baik. Jika kita memang sedang butuh refreshing, lebih baik ajak teman untuk hang out, atau melarikan diri ke toko buku. Meskipun sekeluarnya dari sini kita akan menenteng buku sebagai belanjaan, no problem then, karena buying books is not about spending money, but INVESTING one! Saat ini saya sedang menerapkan strategi: selesaikan buku yang baru dibeli, sebelum membeli buku lagi –untuk memotivasi saya tidak menumpuk buku yang tidak habis terbaca. Meski strategi ini lebih sering gagalnya, karena waktu yang tersedia sering terasa tidak mencukupi sementara nafsu membeli buku selalu menuntut untuk dipuaskan. Apa boleh buat.

8. Sebelum ‘kalap’ melihat sale, survey harga normalnya!

Kalau tidak tahu harga normalnya, mungkin kita merasa telah untung membeli barang dengan diskon 20% atau 50% misalnya. Padahal, sering sekali saya bandingkan barang-barang sale itu dengan barang yang sama di tempat lain yang lebih murah, jatuhnya masih lebih mahal barang yang telah didiskon itu.

9. Brand really Matters!

Bukan berarti kita kudu ngejar barang branded, justru sebaliknya, untuk barang-barang yang kita nggak butuh brand, carilah brand yang tidak terlalu populer atau lebih baik lagi brand lokal yang tentunya punya selisih harga lumayan banyak dengan barang yang sama dengan merek yang telah established. Untuk ATK misalnya, selama ada brand lokal yang kita yakin kualitasnya, kenapa mesti pilih brand terkenal yang jauh lebih mahal karena mahalnya tax import?

10. Sekali-kali nyobain ke Pasar Kaget, bisa nemuin barang lucu dengan harga murah meriah.

Memang belanja di Pasar-Pasar Kaget kudu lebih teliti karena barang bagus dan jeleknya nyampur. Tapi kalo jeli, bisa banget nemu barang-barang yang ‘kita banget’ tapi versi murahnya yang mungkin orang nggak bakal kepikiran semurah itu.

11. Jangan terlalu rajin ngegesek kartu kredit atau kartu debit.

For a shopaholic, cash is better! Banyak kasus dikejer-kejer debt collector karena terlilit utang yang tau-tau udah numpuk aja.. Ketimbang hidup nggak tenang, mendingan nggak usah banyak pake kartu kredit deh..

12. Biar gaji nggak sekedar numpang lewat: tabung dulu, baru dipake, bukan sebaliknya! Nah ini kata-kata Safir Senduk Perencana Keuangan yang terkenal itu, namun masih sering gagal saya praktekkan ;(. Idealnya memang, gaji langsung masuk ke rekening tabungan yang tanpa kartu ATM, lalu sisanya masukkkan tabungan operasional dengan kartu ATM hingga bisa ditarik sewaktu-waktu. Tapi idealitas inipun seringkali tak berlaku konsisten.. Berilah saya hidayah Ya Tuhan, agar bisa menuruti ide Om Safir Senduk itu..

13. Hati-hati belanja melalui shopping online.

Sekarang para sophaholic makin dimanja saja dengan makin maraknya situs belanja secara online. Nggak perlu berdesak-desakan ke toko grosir tapi bisa beli barang dengan harga grosir (kalo dapet shopping online yang murah), tinggal liat-liat catalog, pilih dan order via e-mail atau SMS, lalu transfer uangnya plus ongkos kirim. Dalam hitungan hari belanjaan kita telah nyampe di depan mata! Di kantor saya sekarang malah lagi ngetren banget belanja via internet begini. Tapi berdasarkan pengalaman, kita kudu ekstra teliti saat ngorder. Pertama: Foto kerapkali tidak merepresentasikan barang secara akurat, mulai dari tekstur bahan, gradasi warna, hingga ukuran. Kedua: Form pembelian harus diisi dengan detil karena kerapkali terjadi error pengiriman karena kekurangtelitian konsumer/miskomunikasi. Saya udah beberapakali dapet kasus begini dan ujung-ujungnya malah barangnya nggak kepake.

Anyway, semuanya akan berpulang pada konsistensi kita untuk being a smart shopper. Sebelum terlilit utang kartu kredit atau malah ‘jatuh miskin’ karena kebiasan impulsive buying, lebih baik kita ‘insyaf’ dari sekarang dan berbelanja secara proporsional alias sesuai kemampuan dan kebutuhan. Yahhh, dalam hal ini sih I’m still a beginner lahhh…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any ideas to share?