Sabtu, Oktober 10, 2009

'Nyampah' Sampai Tua

Saat membaca buku-buku tentang keterampilan interpersonal dan cara berkomunikasi efektif, kita seringkali di warning tentang bukan hanya penting APA yg ingin kita sampaikan pada orang, tapi BAGAIMANA cara kita menyampaikannya. Akan ada perbedaan yg besar pada DAMPAK, jika kita tau cara yg baik buat menyampaikan apapun yg baik atau tidak baik.

Tapi saat ini aku berpikir lain. Bagaimanapun halusnya cara seseorang, jika isinya SAMPAH, ya tetap akan ngefek ga enak di hati.

Nyampah ya nyampah, talking rude is undeniably bad, bagaimanapun manisnya proses nyampah itu.

Aku percaya content has its own power. Jadi PR kita tidak hanya belajar how to talk, tapi berlatih untuk memilih what to talk about. Dan sungguh, ini ga bisa dibuat-buat.

Untuk menjadi orang yg terbiasa bicara baik, kita kudu punya paradigma bahwa bicara baik itu keharusan.
Dan untuk menjadi orang yang terbiasa bicara sampah, ga sulit buat kita. Cukup anggap aja itu hak kita, dan no big deal buat orang. See? Sangat gampang buat jadi orang yang hobi nyampah. Bahkan kita menyaksikan pada tiap komunitas, sering kali ada saja sosok yang hobi nyampah bahkan saat dirinya sudah beranjak tua. Paralelisme antara usia dan kearifan ternyata sering kali tidak berlaku. Ekspektasi bahwa semakin berumur seseorang akan makin tinggi tendensinya untuk bijaksana kerapkali hanya sebuah misasumsi.

Sedih sekali jika menyaksikan bahwa mereka yang kita hormati karena senioritasnya, kerapkali masih merasa ‘masih jaman’ untuk berkata-kata sampah yang ga selayaknya. Masa iya sih, kita rela untuk nyampah sampai tua?

Kamis, Agustus 20, 2009

Farah Quinn: Merobohkan Stigma bahwa Memasak bukan Aktivitas Wanita Modern


Strategi TransTV untuk menampilkan Farah Quinn sebagai chef pada acara cooking guide berjudul Ala Chef pada Sabtu dan Minggu pagi tampaknya memang brilian. Farah menjadi icon penting yang membuat acara berslogan delicious and sexy food ini melesat diantara acara kuliner serupa di channel TV lain. Tidak hanya terlihat atraktif [dengan wajah rupawan dan kulit sawo matangnya yang eksotis], Farah juga amat gesit dan unik dengan gayanya yang orisinil. Logat bahasanya yang kebule-bulean mudah akrab di telinga pemirsanya dengan kata-katanya yang khas, “Woalaa, this is it! Pempek bundar ala Chef Farah Quinn!”. Siapa yang tidak ingat dengan gaya khasnya saat mengangkat hasil karyanya setelah acara masak memasak kelar?

Tapi yang lebih penting, Farah Quinn yang ternyata asli Palembang ini telah menjadi icon baru di dunia kuliner Indonesia, yang selama ini didominasi oleh genre laki-laki, dan kalaupun beberapa diantaranya wanita, amat jarang yang tipikal Farah: dengan gayanya yang gaul, fashionable, dan terbilang masih amat muda [doi kelahiran 1980]. Farah yang bersuamikan orang asing ini memilih untuk menekuni kuliner sebagai latar belakang pendidikan, lalu menerjuni dunia masak memasak sebagai profesinya [Farah adalah chef dengan spesialisasi pastry, pernah kuliah di Pittsburgh Culinary Institute dan menjadi ahli pastry di Arizona Biltmore Resort]. Padahal, kalau mau jujur, banyak sekali para wanita yang mengkategorikan dirinya ‘modern’ -apalagi dari kalangan wanita karir dengan keadaan finansial yang baik- yang mau bercucuran air mata karena mengupas bawang merah, membersihkan ikan mentah yang bau amis dan kulitnya tersiram minyak saat menggoreng kerupuk di dapur.

Aku adalah satu diantara banyak wanita yang tidak menaruh minat terlalu banyak pada peran domestik wanita dalam rumahtangga: amat jarang memasak sendiri, dan urusan mencuci baju serta menyetrikanya juga didelegasikan dengan hormat pada pembantu. Bahkan saat weekend dimana tidak ngantor sekalipun, aku lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca banyak buku selama berjam-jam, kalau pas sedang tidak jalan-jalan ke mol, shopping, atau sekedar nonton TV di kamar. Dan jika sedang ingin makan enak, solusinya cuma satu: berwisata kuliner keluar, gampang kan? Gitu aja kok repot. [Untungnya sejauh ini suami belum complain terlalu kenceng. atw pada saat complain pas kebetulan aku lagi pake headset :D].

Kengapa ga memasak sendiri? Selain memang ga suka dan tentu ga bisa [karena ga belajar], jujur aku masih punya paradigma yang less favorable tentang aktivitas domestik para istri. Aku sering menganggap aktivitas memasak, mencuci, dan menyetrika itu selain tidak menarik juga kurang penting, yang bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk pembantu rumah tangga. I love being the thinker, not the doer, begitu justifikasi inside my mind. Karenanya aku lebih suka aktivitas-aktivitas yang menurutku butuh pemikiran, bukan butuh tenaga yang membuat kita berkeringat-keringat saat melakukannya. Okelah tentu kadang-kadang aku melakukannya, tapi secara serius dan total melakukannya memang belum pernah terpikirkan. Nungguin hidayah kali ya :D. But at least, aku sudah mengkliping buku resep masakan dari tabloid-tabloid lho, upaya yang lumayan kan? Hahaha.

Sampai kemudian Mrs. Farah Quinn dengan acara TVnya itu merombak stigma bahwa memasak bukanlah bagian penting dari aktivitas wanita modern saat ini. Melihatnya bersemangat meracik bahan-bahan yang bahkan aku tidak tahu namanya, kreativitasnya membuat aneka variasi masakan, dan kebiasaannya mencicipi hasil karyanya dengan orang-orang yang ditemuinya, tak pelak membuatku iri hati. Betapa beruntungnya suaminya, pikirku. She’s definitely a type of modern woman with great ability to grow his husband’s love by her delicious cuisine! Aku pernah dengar bahwa salah satu strategi melumpuhkan hati suami adalah melalui perutnya. Kubayangkan betapa asyiknya menjadi seorang wanita yang tak hanya pintar otaknya, pintar berdandan, pintar merayu [hehehe], tapi juga pintar memasak! Bukankah itu menyempurnakan modal seorang wanita?

Lagipula tidak benar juga aktivitas memasak tidak melibatkan pemikiran, justru hanya the thinker yang bisa berinovasi untuk memvariasikan masakan-masakannya hingga selalu ada kreasi baru dan pasti mak nyoss. Every chef is absolutely a thinker! Belum lagi pahala yang bercucuran dibalik tiap tetes keringat saat acara masak-memasak itu, kayaknya lumayan buat tabungan amal soleh istri.

Seperti kata Farah, “Cooking bukan hanya buat si mbok dan dapur juga bukan pekerjaan yang tidak seksi...”. She’s absolutely true for this! Yeah, mudah-mudahan, kalaupun tidak sekarang, akan tiba masanya dimana aku akan berkata, “Woalaa.. this is it! Pempek lenjer ala Chef Agustina Djihadi!” sambil menyorongkan nampan besar berisi pempek lenjer yang memang aku bikin sendiri, bukan hasil beli dari warung Pempek Pak Raden :D

Melahirkan Masterpiece, Apapun Profesi Kita


Martin Luther King mungkin terdengar lebai saat berkata ini: "Jika seseorang terpanggil untuk menjadi tukang sapu jalanan, hendaknya ia menyapu jalanan sebagaimana Michael Angelo melukis dan Beethoven menciptakan musik, atau Shakespeare menulis puisi. Hendaknya ia menyapu dengan sangat baik hingga segenap isi surga dan bumi menghentikan kegiatan mereka dan berkata: Disini tinggal seorang penyapu jalanan yang agung yang menjalankan tugasnya dengan amat baik!”. Walaah. Bagaimana mungkin mengharapkan kinerja seorang tukang sapu menyamai para maestro bertangan dingin yang telah melahirkan banyak masterpiece?

That’s what I think sampai kemudian aku berinteraksi dengan seorang tukang koran yang biasa mangkal di los Komperta Plaju, dekat toko-toko dimana orang biasa membeli berbagai kebutuhan mulai dari sembako hingga ATK. Disitu mangkal pula berbagai macam jualan makanan mulai dari warung nasi goreng dan bakso (dulu jaman sekolah disinilah tempat favorit nraktir kalo ada yang ulangtahun), Ayam Kalasan, martabak telor, roti bakar Bandung, burger, sampe gorengan. Ada juga toko fotokopi dan beberapa lapak yang menjual koran dan majalah.

Banyak tukang koran yang ramah, they’re everywhere. But I mean, this person, bukan hanya sekedar ramah tapi tampak sangat menikmati apa yang dilakukannya, bahkan (tampak) amat menikmati hidupnya. U will know what I mean if you look at his eyes. “Korannya ibu..!“, sapaan wajib itu selalu dilakukannya dengan senyum tulus yang lebar. Aku bahkan melihat matanya bersinar-sinar oleh semangat dan harapan. “Majalah X baru udah terbit bu, majalah Y juga. Atau mau majalah Z? Edisi khusus lho bu!”, saat aku membacai headline berbagai koran atau highlight pada cover berbagai majalah, dia pasti mengiringi dengan sekilas ‘guidance’. Bahkan jika aku berdiri lama disitu untuk membaca sebuah artikel yang menarik sekalipun, dia akan tetap sabar menanti sambil berkata, “Boleh bu, diliat-liat dulu..”, dengan wajah yang amat cerah. Setelah mengobrak-abrik dagangannya dan akhirnya memilih satu dua atau tiga diantaranya, ia akan berkata, “Oke ibu, jadi total semuanya Rp 25.000, “ Jika ternyata sebenarnya adalah Rp 25.500, misalnya. Kadang aku berpikir, bukannya kita yang mensodakohkan uang kembalian tapi justru tukang koran yang mensodakohkan margin keuntungannya yang ga seberapa.

Pernah saat ia kehabisan kantong kresek dia berkata, “Tolong tunggu sebentar ya Bu, saya beli kantong kresek dulu”. Ia bela-belain mau membelikan kantong kresek untuk membungkuskan koran yang harganya ga seberapa. “Ga usah Pak, begini aja”, tolakku langsung. “Makasih bu ya…”, katanya dengan wajah lega, lalu dengan sigap mengaturkan arus lalu lintas agar kendaraan kita bisa lewat dengan nyaman. Bayangkan, bahkan ia berperan sebagai tukang parkir! Dan itu dilakukannya dengan senyuman yang tak pernah surut, dan wajah yang amat cerah. Aku amat mengenali tipikal wajah seperti itu; bukan wajah yang tersenyum karena menghendaki sesuatu dari kita, bukan wajah yang tersenyum karena merasa tertuntut untuk itu, bukan juga wajah yang tersenyum dalam penyamarannya untuk terlihat bahagia. He’s totally not fake.

What I’m going to say is: bahkan seorang tukang koranpun telah sukes menularkan aura positif pada orang-orang sekitarnya, tanpa dia niatkan. Don’t forget that he’s only a newpaper vendor! Aku benar-benar tidak pernah melihat orang jualan seceria itu! Yang dijual hanya koran, namun seolah-olah yang membeli adalah customer super penting yang hendak membeli berlian. Sangat berbeda dengan kebanyakan pedagang yang menjalankan ‘tugas’nya dengan amat standard, bahkan seadanya (Kecuali kita sedang menghadapi transaksi super mahal). See? Ilmu marketing selama ini mengajarkan kompetensi untuk melakukan pelayanan public yang excellent, tapi itu lebih atas asas profit-oriented. Training-training berbudget mahal yang diperuntukkan untuk public relations, staf marketing, resepsionis, atau apapun yang menjadi garda terdepan yang memegang pencitraan perusahaan, hampir selalu dealing with changing behavior, not changing the PARADIGM. Masih untung jika marketernya sendiri yang dengan kesadaran penuh untuk memiliki paradigma untuk berprinsip: I do deeds not because the people are nice, but because I am! (“Gue baik bukan karena lo-lo pada baik ama gue, tapi karena emang gue orangnya baik!”). I really think that, orang-orang seperti ini sungguh merupakan aset penting bagi tempatnya bernaung, karena ia akan bisa diandalkan tanpa mengenal cuaca dan musim.

Seorang sahabat berkata, “Orang-orang besar itu bukan besar karena mengejar kebesaran, tapi karena they love what they’re doing. The rest will follow”. To tell the truth,I really think so. Performa orang-orang yang mencintai pekerjaannya sangat mengagumkan. They do something NOT because are asked to do so, but because they want to do so. Logikanya saja, hasil kerja siapa yang akan lebih baik: mereka yang kerja karena perintah atasan semata-mata, atau mereka yang memang terpanggil & cinta sama pekerjaannya? Or I change the question: yang mana yang akan lebih kelihatan hepi saat kerja? I hope this is rhetoric :).

Maybe if we love what we’re doing and perform the best of us on it, kita sudah masuk pada kriteria yang disebut Oom Martin Luther King tadi. I believe that, melahirkan masterpiece bukan monopoli orang-orang besar, dan apa yang disebut sebagai hal besarpun, sebenarnya akumulasi dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan excellent secara konsisten. Mungkin kita bisa mulai benih-benih excellence itu, dari meja kerja dihadapan kita? Yuk mariii..

Selasa, Mei 12, 2009

Dale Carnegie Syndrome


Pada hari yang sama saya berangkat ke Bandung untuk workshop Capacity Building Tahap II, bossku (baca: ayah) terbang ke Surabaya untuk mengikuti Dale Carnegie Training, sebuah Pelatihan Pengembangan Diri yang diselenggarakan Dale Carnegie Indonesia untuk Pertamina Learning Center. Ternyata secara kebetulan, pada waktu yang sama dan pada hotel yang sama dengan saya, berlangsung pula Dale Carnegie Training yang entah diikuti oleh corporate mana. Serta merta saya jadi terpikir: hari gini ternyata masih ngetren ya Dale Carnegie syndrome?

Dale Carnegie memang nama yang besar dalam dunia motivasi dan pengembangan diri, selain tentu saja Napoleon Hill (yang terkenal dengan best sellernya The Power of Positive Thinking), Anthony Robbins (Awaken the Giants within You’), David Schwartz (bapak ‘The Magic of Thinking Big’), lalu diikuti ‘era baru’ milik Stephen Covey (Seventh Habits) dan lain-lain. Saya masuk dalam ‘arus’ Dale Carnegie (selanjutnya sebut saja DC) saat membaca salah satu best seller-nya Petunjuk Menikmati Hidup dan Pekerjaan Anda yang pertamakali saya baca semasa SMP. Bisa dikatakan semua pemikiran DC memang inspiratif dan memperkaya perspektif. Tak heran jika pengaruh DC amat meluas bahkan hingga puluhan tahun kemudian.

Ari Ginanjar Agustian –bapak ESQ Indonesia- pernah menyinggung DC seperti ini:

Jika kita pelajari isi keseluruhan buku DC ‘Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain’ maka Anda akan merasakan bahwa semuanya adalah penjabaran dari sifat rahman dan rahim kepada sesama manusia. Kita tahu sifat tersebut milik Tuhan. Suara hati kitapun akan membenarkan hal ini. Namun secara prinsip berbeda; yaitu antara prinsip yang memberikan kasih sayang karena Allah SWT dibandingkan prinsip bukan karena Allah. Itulah perbedaan yang mendasar.

Lalu saat membahas efektivitas Bismillahirrahmanirrahim pada bahasan salah satu Zero Mind-nya, Agustian juga menyebut-nyebut DC dengan lebih signifikan:

Prinsip Bismillah, bersumber dari suara hati terdalam, akan menghasilkan sikap-sikap yang mampu mencerminkan sifat rahman dan rahim: memberi perhatian pada orang lain, empati, mau mendengar, senang menolong, selalu mengucapkan terimakasih, suka menghargai, memberikan senyum yang tulus. Anda mungkin berpikir bahwa hal diatas sama dengan teori DC. Saya ingin menekankan hal yang sangat penting dan mendasar, yang membedakan prinsip Bismillah dengan teori DC.

Prinsip Bismillah mampu menghasilkan teori-teori DC karena bersumber dari suara hati yang rahman dan rahim, suatu kesadaran diri bahwa manusia adalah aset Allah yang harus dihargai. Sedangkan teori DC didasari pada prinsip menghargai orang lain dengan tujuan bisa memperoleh teman dan pengaruh. Jika penganut konsep DC kehilangan penghargaan dari orang lain, niscaya dia akan goyah. Namun orang dengan prinsip Bismillah, bahkan kehilangan penghargaan atau dihina sekalipun, tidak akan goyah karena berpegang pada Tuhan, bukan kepada manusia.

Agustian lalu mencontohkan prinsip Bisimillah:

Suatu hari Nabi Muhammad SAW didatangi seorang nenek tua, beliau menghamparkan sorbannya sebagai alas duduk si nenek, dan lalu selama satu jam dihabiskan untuk berbincang-bincang. Anda tahu materi pembicaraannya? Rasulullah hanya mendengarkan si nenek bercerita tentang cucunya yang lucu.

Bila Rasulullah bersalaman dengan Anda, beliau akan bersalaman dengan erat sambil menatap mata Anda, tersenyum dan tidak melepaskan genggamannya sampai Anda sendiri yang melepasnya. Dan Nabi Muhammad SAW belum pernah ikut kursus Dale Carnegie pada masa 1400 tahun yang lalu :)

Lantas bagaimana Agustian menempatkan gempuran literatur pengembangan diri yang berfokus pada pentingnya keterampilan pembentuk kepribadian sebagai penuntun kesuksesan? Bahwa keberhasilan seseorang banyak ditentukan oleh teknik membuat orang lain senang dengan cara tersenyum, berfokus pada minat orang lain, mengingat nama orang dan lain sebagainya.

Agustian secara jelas menyatakan bahwa,

Pada prinsipnya saya merasa semuanya sebatas teori yang menyentuh permukaan yang tak mampu menerobos akarnya. Akibatnya menghasilkan orang yang berprinsip pada penghargaan semata. Literatur baru lalu memperkenalkan arti paradigma, visi, dan kemenangan publik, yang dianggap lebih menyentuh sisi terdalam manusia. Disini ditekankan pentingnya berpusat pada prinsip, namum tak jelas prinsip apakah itu. Jika kita pelajari semua, kita akan menyadari bahwa sebenarnya Pikiran Bawah Sadar baik menurut Napoleon Hill, Keajaiban Berpikir Besar menurut David J.Scwartz, Ph.D, maupun Kecerdasan Emosi menurut Robert K. Cooper, Ph.D., memiliki kaidah yang sama namun berbeda nama. Itulah bentuk usaha pencarian mereka akan kebenaran, yang pada akhirnya akan tiba di suatu sumber, baik sadar atau tidak. Semua akan mengakui kebenaran Allah SWT dan Alquran pada akhirnya. Umumnya orang-orang menjadikan buku-buku barat atau ilmu pengetahuan sebagai pegangan dan kiblat, atau bertuhan pada ilmu, bukan pada pemilik ilmu, yaitu Sang Pencipta Ilmu.

Saya tidak serta merta antipati pada tokoh-tokoh pemikir, motivator, ahli pengembangan diri dan self-help dari barat, bahkan sampai sekarang masih suka juga membaca buku-buku seperti itu. Salah satu yang menjadi favorit saya adalah seri Don’t Sweat-nya Richard Carlson, Ph.D, dan yang paling relevan adalah Don’t Sweat the Small Things at Work, yang semua poinnya tampaknya ditujukan pada saya, yang punya kebiasaan membesar-besarkan masalah kecil terkait office life :D. I think, practical guide-nya cukup membantu. Namun sekali lagi, be aware that, the essence of living selalu lebih dalam dari hanya sekedar tuntunan praktis yang ditawarkan buku-buku semacam itu. Pada akhirnya toh kita akan turning into some higher points, dimana kita membutuhkan tuntunan yang lebih mendalam dan menyentuh seluruh kesejatian kita sebagai mahluk Tuhan. Itulah yang menjelaskan mengapa kita lebih merasa tenteram setelah menghibur diri dengan membaca La Tahzan-nya Dr. Aidh Al-Qarni dibanding setelah membaca Happy People: 100 Rahasia Membuat Hidup Bahagia-nya David Niven, Ph.D meski yang terakhir ini tampak lebih saintifik karena merupakan hasil riset para ilmuwan tentang sikap hidup yang menciptakan kehidupan.

Moral lesson dari tulisan ini: daripada corporate membayar mahal untuk mengkursuskan karyawannya pada Dale Carnegie Training, lebih baik diikutsertakan saja pada Pelatihan ESQ deh! Saya baru sempat mengikuti re-training-nya pada lembaga tempat mengajar dulu –mudah-mudahan tidak basi untuk mengikutinya nanti-nanti. Saat ayah diikutsertakan perusahaan pada ESQ Leadership Training, saya juga melihat ini investasi penting bagi pengembangan diri dan corporate. ESQ menggugah dan mengubah kehidupan karena berbeda dari pelatihan lain dan bukan sekedar pelatihan kepemimpinan atau manajemen biasa. Mengutip brosur pelatihannya, ESQ Training merupakan pelopor pelatihan yang mengasah sisi spiritual dengan mendalam, bersamaan dengan sisi emosi dan intelektual seseorang. ESQ hadir untuk siapa saja yang berkeinginan untuk membentuk karakter manusia paripurna. ESQ juga upaya untuk menjembatani rasionalitas dunia usaha dengan prinsip ketuhanan. Melengkapi makna sukses dengan nilai-nilai spiritual yang mendalam, menuju esensi hidup bahagia yang sesungguhnya.

The last one is, for your information, Dale Carnegie yang pemikirannya memotivasi jutaan orang di berbagai belahan dunia itu (that’s what I call DC syndrome ;)), ternyata mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara bunuh diri. See? Ternyata amat dangkal konsep hidup yang tidak dimuarakan pada kedalaman sisi-sisi spiritual manusia.

Selasa, April 28, 2009

Menjadi Muslimah yang Berdaya



Tampaknya ada resep gampang untuk membuat tekanan darah jadi tinggi dan kepala mendadak cekot-cekot. Tiap hari pukul 18.00 sampai 19.00, sempatkan sejenak untuk menonton dengan manis sinetron Muslimah di Indosiar. Jika bisa bertahan lebih dari 5 scene saja tanpa rasa eneg, berarti HEBAT! Lanjutkan dengan menyaksikan Hareem –sekarang berjudul Inayah- pada pukul 20.00 hingga 21.00 pada channel yang sama. Luar biasa memang sinetron-sinetron kita itu.

Banyak sekali yang mencurigai ada grand design mendiskreditkan Islam oleh dua tayangan tersebut. Sebutlah Muslimah: sudahlah judulnya membawa-bawa Islam, dengan penokohan menggunakan atribut-atribut keislaman secara jelas, namun isinya hanyalah bermuatan kesirikan, kekerasan yang amat vulgar, dan ketololan-ketololan yang tak masuk akal. Pendeknya tayangan ini amat meremehkan intelektualitas karena semata-mata berisi parade kebodohan dan kenaifan yang sangat tidak mencerminkan nilai-nilai Islam, bahkan nilai-nilai universal kemanusiaan. Tayangan ini bukan hanya tidak islami tapi sudah tidak manusiawi, bukan hanya tidak mendidik tapi sudah menyesatkan, bukan hanya tidak bermutu tapi memang amat kacangan. Bikin emosi panas aja deh kalo nekat mantengin sinetron-sinetron ini.


Sebenarnya yang paling bikin emosional itu terutama bukan karena kekejaman tokoh-tokoh antagonisnya, melainkan kebodohan sang tokoh utama (yang namanya Muslimah) dalam menerima kedzoliman demi kedzoliman yaitu dengan caranya yang sungguh mantap: menangis tersedu-sedan dengan wajah tidak berdaya, yang makin menegaskan penempatannya sebagai korban dari segala situasi buruk yang memojokkannya. Cape deehh.. Saya paling sensitif dengan pencitraan wanita Islam yang dungu, dangkal dan terdzolimi, yang cuma jadi bulan-bulanan dan warga negara kelas dua. Padahal para sahabiyah 14 abad yang lalu terkenal dengan reputasi hebatnya sebagai wanita-wanita kuat yang berfastabiqul khoirot, tidak hanya menjadi istri dan ummahat yang mencetak generasi unggul, tapi juga merupakan bagian dari masyarakat yang punya peran signifikan terhadap kemaslahatan umat. Pendeknya sosok muslimah yang sebenarnya adalah representasi citra wanita yang berdaya (powerful), bukannya lemah dan tertindas. Ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari terinternalisasikannya nilai-nilai spiritual yang diyakininya.

Maka wajar saja jika banyak yang gregetan dengan tayangan Muslimah itu dan menuntut KPI untuk bertindak tegas. Termasuk sinetron Hareem yang juga merepresentasikan kehidupan orang Islam yang menyeramkan, dan menurut MUI berindikasi melecehkan agama. Untungnya, pada Senin (31/3) lalu KPI telah menetapkan enam sinetron bermasalah untuk diperingati, yaitu: Suami-suami Takut Istri, Muslimah, Abdel dan Temon, Alisa, Tawa Sutra, Monalisa, dan Hareem. Sinetron-sinetron ini dinyatakan telah melanggar Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Saya pikir tayangan-tayangan bermasalah itu akan dihentikan, tapi ternyata nggak, backingnya kuat kali yaaa. Cuma bedanya, kini Hareem muncul dalam versi baru: menanggalkan atribut-atribut keislamannya hingga tampak seperti sinetron drama biasa tanpa mengatasnamakan Islam. Romo tampil tidak lagi dengan gamis putihnya, istri-istrinyapun pada melepaskan jilbab, dan anak laki-lakinyapun tidak lagi mengenakan peci putih seperti biasanya. Terkesan agak maksa memang, tapi rupanya Soraya Intercine Film lebih bela-belain skenarionya tetap jalan dan mengadaptasi nuansa keislamannya saja biar MUI nggak ribut-ribut.

Fenomena tayangan-tayangan payah ini juga ternyata disoroti oleh Yayasan Sains dan Estetika (SET), Yayasan Tifa, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang mengadakan penelitian bertema "Menuju Televisi Ramah Lingkungan" untuk menjaring penilaian kelas berpendidikan tentang kualitas program televisi. Dari 220 responden yang diteliti, sebagian besar adalah sarjana. Hasil penelitiannya menghasilkan 5 program terbaik: Kick Andy (22,3 persen), Seputar Indonesia (3,6 persen), Liputan 6 Petang (3,2 persen), Jejak Petualang (3,2 persen), dan Jalan Sesama (2,7 persen). Bagaimana dengan ‘penghargaan’ untuk program-program terburuk? Seperti bisa ditebak, Sinetron Muslimah adalah juaranya, disusul Sitkom Suami-suami Takut Istri, FTV Drama Indosiar, Bukan Empat Mata, Dangdut Mania Dadakan IV, dan Sinetron Cinta Fitri 3. sedangkan program terbaik di tiap stasiun televise adalah: Trans 7: Bocah Petualang (20%), TransTV: Bioskop TransTV (17%), MetroTV: Kick Andy (36%), ANTV: Tawa Sutra (19%), TVOne: Apa Kabar Indonesia Malam (21%), TPI: Lintas 5 (11%), Global TV: MTV Ampuh (19%), SCTV: Liputan 6 Petang (45%), RCTI: Seputar Indonesia (49%), Indosiar: Mamah dan Aa (15%), TVRI: Dunia Dalam Berita (26%).

Saya mengkuatirkan efek tayangan-tayangan ‘bodoh’ dan ‘membodoh-bodohi’ seperti sinetron Muslimah bagi masyarakat awam. Bisa jadi ini dianggap representasi dari nilai-nilai Islam hingga meningkatkan Islamophobia dan misinterpretasi banyak orang terhadap Islam yang hakiki. Bisa jadi aturan-aturan Islam dianggap tidak memberikan ruang yang kondusif bagi wanita hingga menempatkannya sebagai pihak yang termarjinalkan ditengah-tengah masyarakat, padahal andai kita memahami bagaimana Islam memuliakan wanita, mungkin laki-laki akan banyak yang iri hati karena keistimewaan yang dimiliki wanita.

Mari kita lihat bagaimana para Muslimah yang sebenarnya mengukir sejarah!

Asy-Syifa’ binti Al Harits, disebut sebagai seorang guru (ulama) wanita pertama dalam Islam. Ia mengajar membaca dan menulis, dan ahli ruqyah (pengobatan), bahkan Khalifah Umar bin Khattab sering meminta pendapatnya tentang urusan agama dan dunia.

Ummu Hani’ binti Abi Thalib Al Hasyimiyyah, tersohor sebagai penunggang unta yang hebat, periwayat dan pengajar hadits hingga akhir hidupnya. Namun karena baiknya perlakuannya terhadap keluarganya, Rasulullah SAW memujinya sebagai perempuan penyayang keluarga.

Hafsah binti Umar bin Khattab adalah sosok pemberani dan berkepribadian kuat serta pandai membaca dan menulis –yang ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh perempuan. Hafsah adalah orang yang pertamakali diperintahkan oleh khalifah Abu Bakar Siddiq untuk mengumpulkan mushaf asli Alquran.

Nama Khadijah binti Khuwailid takkan mungkin untuk tidak disebut. Sebagai pebisnis kaya raya, wanita terbaik di dunia ini mendukung perjuangan Rasulullah SAW dengan sepenuh jiwa raganya. Dialah sosok wanita sejati yang menenangkan Rasul di masa-masa sulitnya.

Wanita hebat yang tangguh juga didapati pada sosok Ummu ‘Umarah, yang bersama suami dan kedua puteranya ikut dalam perang Uhud yang berlangsung dahsyat. Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, Ummu ‘Umarah justru mendekati Rasulullah bermaksud melindunginya dengan menggunakan pedang. Namun ia justru terkena sabetan pedang berkali-kali oleh musuh hingga lukanya baru sembuh setelah setahun. Pada masa Khalifah Abu Bakar Siddiq, Ummu Umarah juga ikut memerang Musailamah Al-Kadzhab si nabi palsu, hingga Ummu ‘Umarah terpotong tangannya dan kehilangan puteranya.

Tentu saja figur wanita ideal sepanjang masa ada pada Aisyah binti Abu Bakar Ash Siddiq. Ia telah membuktikan bahwa seorang wanita lebih pintar dari kaum laki-laki dalam urusan politik dan perang. Berkumpullah pada diri beliau antara ilmu dan keutamaan yang mana sejarah menjadikan beliau obat yang sangat dibutuhkan sepanjang masa. Dalam kehidupan rumah tangganya ‘Aisyah menjadi guru bagi setiap wanita di seluruh alam sepanjang sejarah. Beliau merupakan istri terbaik yang memperhatikan ilmu dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, sehingga beliau sampai pada puncak ilmu yang menjadikan beliau guru bagi kaum lali-laki. Dan mereka menjadikan beliau rujukan dalam hal hadits, sunnah dan fiqih. Az-Zuhri berkata, “Seandainya ilmu ‘Aisyah dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu ‘Aisyah lebih utama”.


Hisyam bin Urwah menceritakan dari ayahnya yang berkata, “Sungguh aku telah bertemu dengan ‘Aisyah, maka aku tidak mendapatkan seorangpun yang lebih pintar darinya tentang Al-Qur’an, hal-hal yang fardhu, sunnah, syar’I, yang paling banyak meriwayatkan, sejarah arab, ilmu nasab, ilmu ini, ilmu itu dan ilmu kesehatan (kedokteran), maka aku bertanya kepada beliau, “Wahai bibi… kepada siapa anda belajar tentang ilmu kedokteran?” maka beliau menjawab, “Tatkala aku sakit, maka aku perhatikan gejala-gejalanya, tatkala ada orang sakit dia menyebutkan gejala-gejalanya, dan aku mendengar dari orang-orang menceritakan perihal sakitnya, kemudian aku menghafalnya.”

Sungguh telah banyak terdapat teladan tentang sosok muslimah yang hakiki, yang bermuara pada keniscayaan bagi tiap dari mereka untuk menjadi manusia yang berdaya, stand on their own feet, namun tetap menjalankan peran kewanitaan mereka sebagaimana seharusnya karena pada tiap laki-laki hebat terdapat seeorang wanita yang hebat di belakangnya. So, menjadi sosok hebat dalam tuntunan Islam adalah satu-satunya pilihan untuk bangkit dari keterpurukan dan ketidakberdayaan umat di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia saat ini. Dan tentu, sosok Muslimah yang diperankan Titi Kamal, atau sosok Inayah yang diperankan Shandy Aulia dalam sinetron-sinetron ‘Islami’ tersebut, sama sekali tidak masuk hitungan!

Selasa, April 21, 2009

Urgent bagi (Calon) Widyaiswara



Keikutsertaan saya pada seleksi CPNS Departemen Agama untuk posisi Widyaiswara pada tahun 2006 lebih karena ‘kebetulan’ saja. Sebagai fresh graduate –meski telah bekerja- saya ikut-ikutan melamar tes CPNS Pemprov Kota Palembang untuk posisi Translator dan Depag dengan posisi Widyaiswara, namun karena memang waktunya bersamaan saya memilih test di Depag dengan pertimbangan status sebagai PNS pusat bersifat vertikal. Jadi bukan karena saya memang ingin menjadi widyaiswara (selanjutnya kita sebut WI), karena saat itu apa itu WI saja saya nggak mudeng.

Istilah ‘tenaga pengajar/pendidik’ kerapkali diidentikkan dengan profesi guru dan dosen, meskipun kemudian ada lagi istilah instruktur atau tutor terutama pada pendidikan nonformal. Namun ternyata ada satu lagi profesi yang dekat dengan dunia pelatihan dan pendidikan yang disebut sebagai Widyaiswara. Secara etimologis Bahasa Sansekerta/Kawi, widya berarti ilmu dan iswara berarti ratu/penyampai. Dus, secara harfiah istilah widyaiswara dapat dimaknakan sebagai seorang yang mumpuni secara ilmu. Tapi sebenarnya profesi seperti apa WI itu?

What is Widyaiswara?

PERMENPAN Nomer 66 tahun 2005 mendefenisikan Widyaiswara sebagai PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengembangan dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan pada Lembaga Pendidikan dan Latihan Pemerintah. Sedangkan versi Lembaga Administrasi Negara (LAN), WI adalah PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar dan/atau melatih PNS pada Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pemerintah.

Bagaimana Jenjang Karirnya?

Ada empat jenjang pangkat Widyaiswara:

1. Widyaiswara Pertama (golongan III/a dan III/b): melaksanakan kegiatan untuk diklat Tingkat Dasar,

2. Widyaiswara Muda (III/c dan III/d), melaksanakan kegiatan untuk diklat Tingkat Lanjutan,

3. Widyaiswara Madya (IV/a, IV/b, dan IV/c) melaksanakan kegiatan untuk diklat Tingkat Menengah

4. Widyaiswara Utama (IV/d dan IV/e) melaksanakan kegiatan untuk diklat Tingkat Tinggi,

What’s the Job Desc?

Ada 18 tugas utama dan 4 tugas penunjang yang menjadi indikator kinerja seorang WI:

1. Melakukan Analisis Kebutuhan Diklat

2. Menyusun Kurikulum Diklat

3. Menyusun Bahan Ajar

4. Menyusun GBPP/SAP/Transparansi

5. Menyusun Modul Diklat

6. Menyusun Tes Hasil Belajar

7. Melakukan Tatap Muka Di Depan Kelas

8. Memberikan Tutorial Diklat Jarak Jauh

9. Melakukan Pengamatan Proses Diklat

10. Penanggung Jawab Pengelola Program Diklat

11. Anggota Pengelola Program Diklat

12. Membimbing Peserta Dalam Penulisan Kertas Kerja

13. Membimbing Praktik Kerja Lapangan

14. Menjadi Fasilitator/Moderator/Narasumber Seminar Diklat

15. Memberikan Konsultansi Penyelenggaraan Diklat

16. Melakukan Evaluasi Program Diklat

17. Mengawasi Pelaksanaan Ujian Diklat

18. Memeriksa Jawaban Ujian Diklat

19. Menyusun Karya Tulis/Karya Ilmiah Lingkup Kediklatan

20. Menterjemahkan/Menyadur Buku Dan Bahan-Bahan Lain

21. Membuat Buku Pedoman/Juklak/Juknis

22. Pelaksanaan Orasi Ilmiah

23. Menjadi Tim Penilai Widyaiswara.


Kompetensi Apa yang Diperlukan Oleh Seorang Widyaiswara?

Untuk menunjang uraian tugasnya, setidaknya ada tiga jenis kompetensi yang menjadi prasyarat bagi seorang Widyaiswara yaitu KSA: Knowledge, Skill and Attitude.

1. KOMPETENSI PENGETAHUAN

Menguasai pengetahuan/substansi mata ajar yang diampu

Mampu mengoperasikan OHP, LCD, laptop dan internet

Memahami psikologi belajar orang dewasa

Berwawasan dan peka informasi

Memahami teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran

Kemauan untuk tetap belajar dan gemar membaca

Mengikuti perkembangan/substansi yang diampu

Kemampuan manajerial

Penguasaan substansi, materi sesuai dengan pedoman kediklatan

2. KOMPETENSI KETERAMPILAN

Keterampilan mentransfer pengetahuan

keterampilan mengelola kelas

kemampuan mengoperasikan teknologi informasi, OHP, komputer, internet, laptop, LCD;

3. KOMPETENSI PERILAKU

Kemampuan berpresentasi efektif;

Kemampuan berkomunikasi

Kemampuan berkomunikasi bahasa Inggris;

Berbusana yang sesuai

Keterampilan memotivasi peserta diklat.


THE MULTI-FUNCTIONED WI

Ada beragam peran yang sebaiknya diemban seorang WI dalam menghandle diklat mencakup:

1. Fasilitator

2. Moderator

3. Motivator dan Inspirator

4. Inovator dan Dinamisator

5. Konsultan

6. Peneliti


Bagaimana Prosedur Menjadi WI?

Mengantongi SK CPNS sebagai Calon Widyaiswara tidak serta merta membuat seseorang positif untuk menjabat sebagai WI. Berbeda dengan guru atau dosen yang semasa CPNS-nya telah bisa menjalankan tugas-tugas mengajar, seorang calon WI harus menempuh Diklat Calon Widyaiswara sekaligus test yang diadakan bersama Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI sebagai dasar untuk direkomendasikan atau tidak direkomendasikan sebagai WI. Pada beberapa tahun belakangan Diklat Cawid berlangsung dalam durasi 40 hari yang diadakan Pusdiklat masing-masing departemen dengan peserta yang berasal dari seluruh Indonesia.

Sebagai cawid Depag, saya dan teman-teman mengikuti Diklat Kewidyaiswaraan Berjenjang Diklat Teknis (Diklat Calon Widyaiswara) pada Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan di Ciputat, kerjasama Departemen Agama dan Direktorat Pembinaan Widyaiswara LAN yang berlangsung pada 28 Oktober s.d 02 Desember 2008 lalu. Ada 30 peserta yang berasal dari Pusdiklat dan 11 Balai Diklat Keagamaan (minus Balai Diklat Bandung) serta 4 peserta tamu dari Departemen Perdagangan. Bayangkan saja, durasi diklatnya menyamai Diklatpim bagi para pejabat eselon III dan IV. Sempat juga diadakan Observasi Lapangan (OL) ke Bandung selama 3 hari.

Sebagai pembekalan bagi para cawid, kurikulum diklat didesain sangat padat yang mencakup:

  1. Pengantar Pendidikan
  2. Psikologi Pendidikan
  3. Belajar dan Pembelajaran
  4. Pendidikan Orang Dewasa
  5. Desain Pembelajaran
  6. Pengembangan Bahan Ajar
  7. Evaluasi Pendidikan
  8. Strategi Belajar dan Pembelajaran
  9. Manajemen Pembelajaran
  10. Penelitian Tindakan Kelas
  11. Kemampuan Dasar Mengajar
  12. Praktik Mengajar
  13. Teknik Penulisan Karya Ilmiah
  14. Pengembangan Kurikulum
  15. Konseling Orang Dewasa
  16. Pemaparan Spesialisasi

Keenam belas mata diklat yang diwajibkan untuk diikuti para cawid ini amat membantu mereka yang berlatar belakang non-kependidikan, mengingat latar belakang para cawid amat heterogen. Memang rata-rata para cawid sudah S2, meski masih ada yang belum kelar atau malah baru akan kuliah lagi (seperti saya :D). Sempat pernah ada perasaan inferior pada awalnya, termasuk karena saya dan seorang teman yang satu unit kerja di Balai Diklat Keagamaan Palembang adalah peserta paling muda secara usia. Namun hanya satu kata yang menolong kami dari drowned into the bottom of inferiority: bisaaaaaaaaaa!! ;)

Tiap mata diklat selalu diakhiri dengan post test yang disyaratkan minimal 71 dengan rata-rata keseluruhan program minimal 71. Dengan padatnya jadwal diklat, konsentrasi para peserta masih harus dipecah untuk mempersiapkan kelengkapan administratif yang luar biasa banyak sampe bikin senewen, plus persiapan bahan paparan untuk test kompetensi pada dua hari terakhir. Memang terdapat dua tahapan seleksi bagi calon WI, yang mencakup seleksi administrasi (pemberkasan) dan seleksi kompetensi (paparan). Ini dia syarat administratifnya:

  1. Surat usulan dari Pejabat Pembina Kepegawaian di Instansi ke Kepala LAN.
  2. Cawid Lulus Diklat Calon Widyaiswara.
  3. Berijazah serendah-rendahnya Sarjana/D-IV dari PT yang terakreditasi.
  4. Cawid mengisi Lembar Biodata yang disahkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian di instansinya
  5. Usia Maksimal 50 tahun pada saat SK Pengangkatan.
  6. Melampirkan SK Pengangkatan/pemberhentian dalam/dari jabatan terakhir.
  7. Melengkapi Daftar Riwayat Hidup, DP-3 terbaru, Ijazah/ Sertifikat/kegiatan ilmiah/TOT kewidyaiswaraan.
  8. Menyusun Rencana Kerja Diklat individu – minimal 500 JP.
  9. Melampirkan Program Diklat di Unit Diklat satu tahun berjalan.
  10. Surat Keterangan Pengalaman mengajar di Diklat-diklat PNS.
  11. Karya Tulis Imiah (KTI) yang pernah dibuat/disusun/diterbitkan.
  12. Menetapkan minimal 2 Spesialisasi Diklat (satu untuk paparan, yang lainnya sebagai cadangan bila mengulang).
  13. Melengkapi sebanyak 2 rangkap spesialisasi yang akan dipaparkan, dan 1 rangkap spesialisasi yang tidak dipaparkan yang meliputi: RBPMD/GBPP, RP/SAP, Bahan Ajar/Modul, dan Copy transparansi (OHT).
  14. Pas Foto terbaru 3 x 4 sebanyak dua buah.
  15. Melampirkan Daftar Usulan Perolehan Angka Kredit (DUPAK) Calon Widyaiswara beserta bukti fisik.

Item-item yang dicetak tebal adalah syarat yang cukup ‘merepotkan’ dan time-consuming. Para peserta terkondisikan untuk kurang tidur karena bergadang malam-malam untuk menyicil melengkapi semuanya. Untuk menghindari kantuk yang mudah menyerang, biasanya kami pada ngerjain bareng di kelas hingga keramaian membuat suasana tidak begitu bikin stres.

Untuk selanjutnya, jika urusan berkas sudah dinyatakan oke, Cawid bisa mengikuti seleksi kompetensi berupa paparan spesialisasinya dengan unsur penilaian berikut:

  1. Penguasaan Materi/ Esensi Spesialisasi
  2. Relevansi Materi dengan Tujuan Pembelajaran
  3. Sistematika Penyajian
  4. Penggunaan Metode dan Alat Bantu Pengajaran
  5. Keterampilan Menjawab Pertanyaan
  6. Daya Simpatik, Gaya, dan Sikap dalam penyajian
  7. Penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar
  8. Kualitas Bahan Diklat (RBPMD/GBPP,RP/SAP,Bahan Ajar/Modul, Transparansi/Slides)
  9. Ketepatan waktu dalam penyajian
  10. Keterampilan Bahasa Inggris

Sekitar tiga bulan setelah diklat usai, Rekomendasi LAN keluar. Ini berarti populasi WI Depag yang mulanya hanya sekitar 355 orang dari total WI seluruh departemen RI yang berjumlah 7256 orang telah bertambah lagi. Memang yang direkomendasikan untuk menjadi WI tidak 100%, namun merujuk pada mekanisme seleksi cawid Direktorat Pembinaan Widyaiswara LAN sesuai PP 101 th. 2000 dan Peraturan MENPAN No. PER/66/M.PAN/6/2005, jika dinyatakan belum berhasil pada satu kali test, peserta dapat mengulang sekali lagi dengan mengajukan surat pengusulan kembali. Saya kebetulan direkomendasikan untuk diangkat menjadi Widyaiswara Pertama dengan Perolehan Angka Kredit sebanyak 143,55.

Dengan tunjangan yang relatif tinggi dan batas usia pensiun diatas 56 tahun serta kesempatan untuk pengembangan karir secara mandiri membuat banyak PNS yang berminat ‘beralih fungsi’ menjadi WI, diluar rekrutmen cawid dari seleksi CPNS. Bahkan fenomena yang ada sekarang, para pejabat yang akan memasuki usia pensiun banyak yang pindah menjadi WI untuk memperpanjang masa kerja. Terlepas dari itu semua, bisa dikatakan WI merupakan profesi avant garde yang menyediakan banyak tantangan tersendiri. Tidak hanya tantangan seperti yang dikatakan Pak Caca Syahroni –Kepala Sie. Seleksi WI LAN- untuk mengajar orang-orang yang secara usia, pengalaman dan jabatan lebih tinggi dari kita, namun juga tantangan untuk menjaga produktivitas yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugas utama dan penunjang secara mandiri.


Saya ingin mengakhiri info dasar tentang dunia WI ini dengan moral lessons yang diperoleh pada Diklat Cawid silam. Ini ingin saya share karena sangat membekas dan penting untuk memantik api passion dalam diri..

5 Hal untuk Dimiliki Widyaiswara

1. Niat bersih

2. Membina diri untuk memiliki attitude yang baik hingga sikap mentalnya juga bisa ditransfer

3. Bekerja profesional, karena WI adalah pengembangan profesi mandiri. Jadilah WI yg memesona! Jangan jadi WI yang hobi memendekkan jam mengajar dan memanjangkan jam tidur orang..

4. Tidak mudah menyerah, menyelesaikan kesulitan apapun

5. Mengukir prestasi!

(Drs. H. Asmu’i, SH., M. Hum, Kapusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan)

Seorang WI harus menjadi Content-Expert dan Transfer-Expert!

Caca Syahroni, (Ka. Sie. Seleksi WI LAN)

Remember the characteristics of adult learners: autonomous & self-directed, have knowledge & life experiences, goal oriented, relevancy oriented, practical, and need to be shown respect.

(MH. Maliki MA, LAN)

Jadilah WI yg multiskilled, menurut Kaizen those who are multiskilled getting more chances!

(Indrawati, M. TEFL, LAN)

6 Ps: Proper Preparation and Practice Prevent Poor Performance!

(Rivoldi Siringo-ringo, M. Psi, LAN)

Lebih baik menjadi WI yg low profile tapi maju, daripada overconfident tapi jatuh...

(Ramli Haris, koord. WI Depag)


The Mediocre Teacher Tells

The Good Teacher Explains

The Superior Teacher Demonstrates

The Great Teacher Inspires

(Shinta Dame Simanjuntak MA, LAN)

Senin, April 20, 2009

Menjadi Breastfeeding Mother: Sebuah Cita-cita Baru



  • Malam sebelum Pemilu (8/4), kakakku Desy melahirkan Adzhra Zafira Kadzeya ditengah bukaan tiga. Nama itu akhirnya dipilih dari banyak nama yang baru saja kunominasikan dari buku nama-nama bayi. Heran juga, udah 9 bulan ada waktu buat nyari nama dengan matang tapi malah keburu lahiran baru minta cariin buku nama bayi? Sementara aku yang belum hamil-hamil aja udah punya stok nama banyaaak banget buat anak pertama hingga ketiga kami nanti (halah ;))

“Mana bayinya?”, tanyaku sambil menengok kanan kiri dan tak mendapati tanda-tanda keberadaan bayi di ruang persalinan. “Masih di ruang bayi”, kata Desy. Aku dan suamiku lantas berupaya mengintip si bayi melalui kaca, mengobservasinya dari kejauhan dan setelah 10 menit memasang wajah bengong yang sama sekali tidak keren akhirnya observasi itu menghasilkan sebuah kesimpulan brilian: bahwa bayi itu tampak seperti halnya bayi-bayi pada umumnya! (Yeee..)

“Kapan bayi itu dikembalikan ke ibunya?”, tanyaku pada mama. “Setelah 6 jam baru boleh dimandikan. Tapi nanti pas Desy sudah masuk ruang perawatan bayinya mungkin langsung dikasih”. Seorang perawat lalu tampak meminta kami untuk membeli stok susu formula sekedar buat jaga-jaga jika bayinya menangis kehausan sementara ibunya masih belum pulih di ruang persalinan. Aku mendelik tidak setuju, “Masa udah mau langsung dikasih susu kaleng aja? Kenapa ga dicoba IMD aja?”. “Iya, nanti diusahakan..”, jawab Mama.

Sudah tiga keponakanku, dan tiap kali keponakanku lahir aku dirundung perasaan senang sekaligus sedih. Senang karena mereka melahirkan smoothly–meski Yuyun dioperasi Caesar. Sepupuku yang seumurku meninggal saat melahirkan, begitu juga bayinya, hingga agak membuat parno dengan momen melahirkan. Namun disisi lain, aku sering merasa gloomy karena ketiga keponakanku itu tidak ada yang sukses dikasih ASI, bahkan sejak awal kelahirannya. Bukannya ibu-ibu mereka tidak berupaya –aku bahkan sering miris sendiri melihat mereka mati-matian memerah ASInya yang menetes sedikit-sedikit bahkan kadang tidak sama sekali sementara bayinya nggak sabar dan melolong-lolong kehausan.

Masalah sebenarnya muncul karena si bayi telah dicekoki dengan susu formula bahkan sejak usianya satu hari. Karena mengisap susu dari botol sangat gampang –tanpa disedot juga susunya sudah menetes sendiri, maka si bayi merasa sangat tersiksa jika harus berjuang keras menyedot susu dari puting susu ibunya yang notabene tidak selalu bisa lancar keluar tiap saat. Dan karena ketidaktegaan terhadap si bayi yang menjerit-jerit kepayahan itulah, akhirnya susu formula jadi pilihan. Jadi boro-boro IMD (Inisiasi Menyusui Dini), bahkan ASI eksklusif saja tidak. Yang tidak eksklusifpun tidak karena produksi ASI lantas terhenti hingga harus menyetok susu formula tiap saat.

I don’t blame the mothers of the babies. Aku sendiri bahkan agak ‘parno’ dengan obsesiku untuk menjadi breatfeeding mother jika punya baby kelak. Bukan apa-apa, agaknya prosedur persalinan di banyak rumah sakit masih belum familiar dengan IMD, dan malah aku pernah curiga manajemen rumah sakit punya MoU dengan produsen susu formula untuk menciptakan kondisi dimana susu formula ‘terpaksa’ diberikan pada bayi pada hari-hari awal mereka terlahir ke dunia. At least ini bisnis profitable jika tiap ibu melahirkan akhirnya addict pada susu formula.

Faktor kedua yang membuat parno dengan obsesiku itu adalah: pola makanku yang tidak sehat dikuatirkan akan berpengaruh pada produksi ASI kelak. Apalagi konon sejak kecil aku jarang makan sayur dan masih suka bandel makan fast food dan junk food. Bukankah kualitas ASI sangat ditentukan dengan apa yang kita makan?

Aku mengenal IMD pertamakali dari talkshow Kick Andy di MetroTV yang menghadirkan Tiara Lestari sebagai icon pelaku IMD terhadap anak pertamanya yang merupakan cucu dari Dr. Utami Roesli, SpA,MBA,IBCLC, ketua umum Sentra Laktasi Indonesia. Waktu itu Tiara sedang come back dengan slogannya From Sexy to Elegant sebagai upaya memulihkan reputasinya pasca kontroversi atas penampilannya sebagai cover majalah Playboy internasional. Ternyata ‘prestasi’ Tiara tidak hanya di dunia modeling, karena sebagai seorang ibu boleh juga, dengan komitmennya untuk melakukan IMD pada bayinya, padahal ia menjalani persalinan Caesar dimana keberhasilan untuk melakukan IMD hanya 50 persen. “Setelah satu jam 20 menit menangis dan berteriak-teriak minta tolong, akhirnya tanpa dibantu siapapun, Rania berhasil menemukan puting susu ibunya dan menyusu sendiri. Ternyata bayi umur satu jam sudah memiliki survival instinct, nggak ada bedanya dengan kucing atau marmot yang lahir nggak pake bidan,” ungkap Tiara dalam blog pribadinya. Konon Sophie Navita dan Ami Gumelar juga berhasil melakukan IMD untuk anak mereka.

IMD; why and how?
Prosedur IMD sendiri sederhana. Saat bayi lahir, tali pusat dipotong, lalu di lap kering dan langsung diberikan pada ibu. Jangan memisahkan bayi dulu dari ibu (sementara di rumah-rumah sakit, pasca persalinan biasanya bayinya justru langsung dibawa kabur dari ibunya hingga sekian jam kemudian bahkan ada yang sampai besok paginya). Yang perlu di jaga adalah suhu ruangan, dan sebaiknya bayi memakai topi bayi karena disitu banyak keluar panas.

“Bukankah bayinya harus dihangatkan dulu suhu tubuhnya?”, tanya suamiku. Karena bayi itu ciptaan Tuhan, ternyata mekanisme pertahanan tubuhnya amat luar biasa. Konon, bila bayi kedinginan maka suhu tubuh sang ibu akan meningkat hangat sampai 2 derajat, dan jika bayi kepanasan otomatis suhu tubuh ibu menurun sampai 1 derajat.

Ini dia manfaat IMD:
1. Untuk mengurangi kegagalan menyusui. Anak yang diberi IMD dapat mudah sekali menyusui
kemudian, karena salah satu penyebab ASI kurang adalah karena bayi tidak langsung disusui. ASI diproduksi berdasarkan demand. Jika diambil banyak, akan diberikan banyak.
3. Selain mendapatkan kolostrum yang bermanfaat untuk bayi, meningkatkan kekebalan tubuh bayi, juga akan menurunkan angka kematian bayi yang baru lahir.
3. Gerakan bayi yang merangkak mencari puting susu dapat menekan rahim dan mengelurkan hormon yang membantu menghentikan pendarahan ibu.
4. Tentunya: meningkatkan emotional bonding antara ibu dan anak.

The core is, ASI ekslusif merupakan makanan terbaik bagi bayi. Namun karena kita maupun orang-orangtua kita kurang knowledgable tentang ini, tanpa kita sadari sudah menggangu proses kehidupan manusia mamalia. Banyak orang tua yang merasa kasihan dan tidak percaya seorang bayi yang baru lahir dapat mencari sendiri susu ibunya. Belum lagi kurang concernnya pihak medis untuk mendukung program ini. Dokter atau bidan tidak mau direpotkan dengan kegiatan ini sehingga akhirnya bayi tidak diberi kesempatan untuk melakukan ini.

Bekal untuk para calon ibu
Mengingat betapa besarnya manfaat IMD sekaligus kesulitannya, setidaknya ada dua hal yang jadi prasyarat untuk benar-benar bisa melaksanakannya kelak:
- Konsultasikan lebih awal keinginan kita untuk ber-IMD dengan dokter kandungan kita, dan pilih Rumah Sakit yang mendukung pemberian ASI
- Perlu PD kali ya. Kebayang kalo pada saat si baby menangis menjerit-jerit, kita nggak tega untuk membiarkannya berlama-lama nyari ASI sendiri. Oya, kekuatiran dan rasa ragu ternyata bisa menjadi penyebab ASI berkurang.

Inilah kado pertama yang bisa seorang ibu persembahkan pada sang buah hati. For further information, I reccomend you a book by Afifah Afra yang ditulisnya dengan suaminya yang seorang dokter yang membahas urgensi mengoptimalkan periode emas pada bayi dengan program stimulasi dan ASI eksklusif berjudul Mengukir Cinta di Lembar Putih. Meski kecil, buku ini sangat gamblang bicara tentang usia emas (golden ages), urgensi ASI, dan kiat sukses menyusui.

… karena menjadi breastfeeding mother sudah selayaknya dicita-citakan tiap wanita yang dikaruniakan sebuah karunia kelahiran anak..

Kamis, April 16, 2009

Facebook: Kontraproduktif?

Guys, banyak memang yang berpendapat bahwa friendster, myspace, facebook, twilight, blogging, chatting, dan aktivitas-aktivitas serupa lainnya adalah wasting time, alias kontraproduktif. Karena hal tersebut pula, banyak perusahaan yang lantas memilih untuk memblokir alamat situs-situs tersebut untuk menghindari para karyawannya menghabiskan banyak waktu kerjanya untuk hal-hal seperti itu.

Nyatanya memenag banyak orang addicted to Facebook. Facebook berhasil memasuki ranking tiga situs yang paling banyak dikunjungi, menggeser senior dunia jejaring social: Friendster. Tidak hanya dimanfaatkan sebagai media silaturahmi dan mencari teman, Facebook digunakan untuk beriklan serta berkampanye. Obama adalah Presiden pertama yang memanfaatkan Facebook untuk kampanye via internet, dan kini banyak pengekornya.

Namun ada hal-hal yang sebaiknya kita pertimbangkan dalam ber-Facebook:

1. Terbuangnya waktu. Facebooker sulit terlepas dari PC, laptop, HP, dan gadget lain untuk mengakses Facebook. Rata-rata Facebook user mengatakan bahwa akun pertama yang mereka buka saat terhubung dengan internet adalah situs Facebook dan mereka bisa membuka Facebook lebih dari 3 kali sehari! Solusi: komitlah untuk mulai mengakses situs-situs ‘hiburan’ seperti ini hanya pada waktu break, jeda ditengah-tengah pekerjaan, atau menjelang waktu balik. Karena perusahaan/negara membayar atas pekerjaan yang kita lakukan, tuntaskanlah job terlebih dulu untuk membuat gaji kita halal ;)

2. Potensial untuk menjadi masalah bagi kehidupan real. Pertama, masalah bagi yang telah berumahtangga. Disinyalir jumlah perselingkuhan dan perceraian meningkat seiring dengan maraknya Facebook. Kedua, masalah pekerjaan. Tidak hanya karena terbuangnya waktu produktif pada office hours, melainkan kebiasaan pengguna Facebook untuk curhat banyak hal termasuk masalah pekerjaan yang melanggar etika dan rahasia perusahaan. Tampilan Facebook adalah seperti mading yang terus update dan dapat dilihat oleh banyak orang, termasuk rekan kerja dan boss. Contoh kasus menimpa Kimberley Swan -pekerja Ivell Marketing dan Logistics Limited di Clacton Inggris yang merasa bosan dengan pekerjaannya sebagai bagian administrasi dan keluhannya di Facebook diketahui pimpinannya yang berlanjut dengan pemecatan. Konyol ya, dipecat gara-gara Facebook? Solusi: Jangan terlalu mengekspos hal yang ‘risky’ di facebook.

3. Mind your uploaded photos. Banyak banget artis yang diberitakan ke-gap dengan beredarnya foto-foto pribadi melalui facebook, yang terbaru foto Sheza Idris dan adik Acha. Seorang teman rumahtangganya nyaris berantakan karena suaminya melihat foto-fotonya tengah berkarokean dengan teman laki-laki. Ada lagi masalah dengan tidak berkenannya teman-teman yang di-tag dalam foto tanpa sepersetujuannya, terutama untuk foto-foto ‘tidak aman’, pribadi, dan foto ‘jadul’ di masa lalu yang diposting lagi. Ada beberapa teman berjilbab yang keberatan jika foto lamanya yang belum berjilbab dipublish lagi. Solusi: Ga masalah memajang foto hasil narsis diri sendiri to have fun, tapi setidaknya batasi untuk foto-foto yang ‘tidak aman’.

4. Beri informasi yang bersifat umum saja. Privacy is damn private. Yang lebih gaswat sebenarnya adalah kemungkinan hacker untuk mencuri identitas pribadi pengguna Facebook. Istilah kerennya impersonation: pencurian data diri untuk kemudian digunakan untuk berbagai keperluan yang dapat merugikan si pemilik identitas asli. Tindakan yang masuk kategori kejahatan ini biasanya si pelaku berpura-pura sebagai si pemilik identitas untuk mendapatkan informasi rahasia si pemilik identitas asli atau untuk meakukan klaim kepemilikan sesuatu yang sebetulnya bukan haknya. Solusi: be wise in informing no telp/handphone, alamat rumah/kantor bahkan foto. Hal-hal yang terlihat sepele ini bagi bagi orang yang berniat jahat merupakan aset yang berharga.

5. Ingatlah bahwa cara kita berFacebook mencerminkan orang seperti apa kita. Jika tiap 15 menit kita update profil dengan berita-berita nggak penting seperti, “Wah, mau hujan nih..”, “Ngantuk deh..”, atau “Ugh, sebeeeel! Bete beraaat. Gara-garanya…” dan seterusnya, maka orang yang seksama bisa menangkap kesan negatif tentang kita mulai dari nggak ada kerjaan, nggak produktif, tukang ngeluh, negative thinking, sampe annoying. Apa yang kita pikirkan mencerminkan diri kita. Jika kita memikirkan hal-hal remeh-temeh dan nggak penting, bagaimana orang bisa melihat kita penting? Lagipula sungguh deh, membacai status update nggak penting begitu sering terasa annoying.. Solusi: Tahan diri untuk tidak terlalu gampang memberi ‘pengumuman’ nggak penting di ‘mading’ yang dipajang di seluruh dunia itu..

Dengan mengkilas balik sisi-sisi negatif Facebook diatas, pertanyaannya adalah: is Facebook worth it? Jawabannya sangat tergantung pada bagaimana cara kita memanfaatkan Facebook. Walaubagaimanapun banyak hal positif yang ditawarkannya. Bahkan, berseberangan dengan banyak pendapat yang mengatakan tentang kontraproduktifnya Facebook, seorang analis peneliti pasar dari Aberdeen Group, Kevin Martin justru memprediksi bakal ada ratusan perusahaan di seluruh dunia yang lambat laun akan mulai memberdayakan situs jejaring sosial karena teknologi situs jejaring sosial dinilai telah menjadi hal penting dalam dunia pekerjaan karena memungkinkan orang-orang untuk saling berkolaborasi, belajar, dan berbagi info dari berbagai belahan dunia. Ini merujuk pada sebuah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa mayoritas karyawan menyukseskan proyek pekerjaan mereka dengan berbagai kolega dari kantor lain yang memiliki jarak berjauhan, juga memangkas biaya pengiriman email dan SMS antar karyawan yang tak perlu.

Saya sendiri berpikir, jika kita maksimalkan pemanfaatan Facebook untuk hal-hal positif, penting, dan relevan dengan pengembangan diri, maka Facebook membawa nilai plus bagi kita. Yang kedua adalah, bisa dikatakan seseorang yang tergabung pada situs jejaring sosial ini menjadi sosok yang accessible, ‘eksis’ dan go public (bahasa anak mudanya: gaul) dan ini penting untuk social life dan network building. Inilah cara mudah untuk menjadi familiar. Entah berada di belahan dunia manapun, tetap keep in touch dengan banyak teman dan rekan melalui Facebook adalah a piece of cake. Dan yang ketiga: adalah tantangan untuk memanfaatkan teknologi ini untuk making progress, apapun bentuknya. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia bisnis and trade, ini media promosi gratis yang efektif. Pun bagi mereka dengan pekerjaan yang membutuhkan intensitas go public yang tinggi seperti penulis, selebritis, anggota legislatif hinga para pejabat. Seperti yang kita tahu, pada musim kampanye lalu, ada makin banyak para caleg yang tampil di Facebook, selain menggunakan website pribadi.

Guys, be wise in dealing with IT, including Facebook.


Senin, April 13, 2009

Bagaimana Cantik Didefenisikan?


Jika pertanyaan “Apa sih cantik menurut kita?”, the frequently given answers adalah: sosok perempuan tinggi langsing, berkulit putih cemerlang, dengan rambut panjang lurus yang tergerai indah, dan wajah mulus tanpa cela bak pualam. Terkadang kata ‘cantik’ diidentikkan pula dengan istilah ‘seksi’, yang berarti harus memiliki dada dan bokong besar dan kencang hingga tampak ‘sempurna’ sebagai seorang perempuan. Mau diaminkan atau disangkal, namun inilah stereotype yang melekat kuat pada society kita tentang ‘value’ seorang perempuan untuk bisa masuk pada kategori cantik. Jika tidak percaya, lihat saja beauty peagant atau kontes-kontes kecantikan yang seringkali ditayangkan secara on air di layar kaca. Dalam industri televisi, merekalah representasi dari sosok wanita cantik, dan sampai lebaran monyet juga kita nggak bakal nemu ada finalis berbadan pendek atau gendut disana. Kenapa? Ya karena itu tidak cantik!

Saat ini populasi penduduk dunia diestimasi sekitar 6,5 miliar orang (analisis Pusat Program Internasional di Biro Sensus AS), dan konon perbandingan perempuan dan laki-lakinya mencapai 10:1. Pertanyaannya adalah, dengan jumlah sebanyak itu lantas apakah untuk disebut cantik mereka harus tampil ‘seragam’? Apakah wanita-wanita Afrika yang berkulit cokelat harus ramai-ramai memutihkan kulit, wanita-wanita Amerika yang pirang dan keriting harus mengecatnya jadi hitam dan melakukan rebonding agar tampak lebih lurus, dan wanita-wanita Asia yang berbadan mungil harus melakukan operasi pembesaran payudara dan bokong? Belum lagi buat mereka yang memiliki hidung kurang mancung, badan kurang tinggi dan kelebihan berat badan, daftar ‘dosa’ mereka sebagai perempuan tampaknya menjadi amat panjang dan ini seolah akan menjadi sebuah legitimasi penilaian bahwa mereka tergolong BUKAN PEREMPUAN CANTIK.

Mungkin kita berpikir, stigmatisasi inilah yang membuat industri kecantikan termasuk produk kosmetika, salon dan pusat kecantikan hingga pusat kebugaran menjadi laku keras dan kian menjadi bisnis yang nggak ada matinya, dan ini berbanding lurus dengan meningkatnya awareness masyarakat terhadap pentingnya penampilan sebagai bagian dari image building. Namun sebenarnya, hukum yang berlaku adalah sebaliknya! Industri kapitalis dunia fashion dan kecantikanlah yang membentuk pencitraan tentang kecantikan sedemikian rupa sebagaimana yang diyakini masyarakat kita sekarang, dan industri media adalah backing yang mempromosikannya. Pendefenisian masyarakat tentang makna kecantikan itu sendiri bukan terbentuk secara serta merta, melainkan hasil dari bombardir media dengan caranya yang sangat cerdas, hingga jarang sekali kita menyadari bahwa kita tengah di brainwashed secara amat halus untuk melihat hal-hal kasat mata dan artifisial sebagai prioritas, dan pada akhirnya berpotensi untuk mencetak kita menjadi bangsa hedon yang amat mementingkan kulit– material – duniawi, dan dangkal memahami substansi – immaterial- ukhrawi.

Imbas mudahnya adalah: jutaan wanita mati-matian mengubah penampilan fisiknya agar bisa ‘menerima’ diri mereka sendiri sekaligus untuk merasa lebih diterima oleh lingkungan. Ini juga yang menjadi variabel penting yang membuat mereka lebih merasa berbahagia dengan hidupnya. Banyak sekali wanita ‘kurang bahagia’ yang lantas menderita bulimia dan anoreksia maupun eating disorder lainnya, atau untung bagi mereka yang kaya raya bisa melakukan facelift atau bedah plastik lainnya sesuai kebutuhan, namun bagi yang punya budget pas-pasan apa boleh buat: minta suntik ‘dokter-dokteran’ yang bisa menyulap penampilan fisik mereka hingga lebih wow meskipun untuk itu banyak yang akhirnya meregang nyawa.

Saya tidak mengatakan bahwa mengupgrade penampilan adalah hal buruk. Justru sebaliknya, ini adalah wujud kepedulian kita terhadap diri kita sendiri, hingga kita mau melakukan upaya terbaik untuk diri kita. Saya juga tidak mengklaim bahwa mereka yang mengubah penampilan fisik adalah mereka yang pasti kurang bersyukur. Justru mungkin itulah cara mereka mensyukuri anugerah fisik yang dikaruniakan: dengan mengoreksinya hingga makin tampak sempurna. Namun setidaknya ada dua hal yang kemudian menjadi isu memprihatinkan.

Pertama adalah bagaimana kita para wanita ini meletakkan urgensi kecantikan secara tidak proporsional, hingga mengabaikan aspek-aspek lain yang melengkapi value kita sebagai manusia. C’moon, ada banyak sekali kualitas kita sebagai manusia selain dari semata-mata menjadi cantik rupawan. Mengapa tidak menyeimbangkannya hingga kita tumbuh berkembang menjadi manusia yang paripurna? Menjadi wanita cantik yang tidak cerdas adalah sebuah kerugian karena bisa jadi ‘korban’ banyak kepentingan, dan menjadi wanita cantik yang tidak berkarakter adalah sebuah godaan menggiurkan yang lantas mudah untuk menjadi membosankan, seperti halnya menjadi wanita cantik tanpa manner akan tampak mengesalkan. Bagaimana dengan menjadi wanita cantik yang minus kesadaran beragama? Saya cuma bisa bilang: berbahaya.

Jika kita mau menginvestasikan begitu banyak waktu, tenaga dan biaya untuk mengupgrade aspek kecantikan lahiriah, mengapa tidak melakukan hal yang sama untuk mengupgrade kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional (termasuk didalamnya kecerdasan interpersonal), kecerdasan spiritual, dan banyak kecakapan hidup (life skills) yang menunjang value kita sebagai manusia? Saya sih percaya, jika kita sibuk menguprade seluruh aspek ini secara kontinyu, kita ga akan sempat untuk mengutuki kekurangan fisik hingga membuat kita rela untuk jadi seorang anoreksia! Ada terlalu banyak agenda yang harus kita selesaikan, terlalu banyak keterampilan yang ingin kita pelajari, dan terlalu banyak target yang ingin kita capai; mengapa menghabiskan banyak waktu dengan sebagian kecil dari value kita itu? Menjadi cantik saja tidak cukup, kita juga perlu untuk punya attitude, strong character and high determination, menjadi kompeten pada bidang kita sekaligus broad-minded alias berwawasan luas dan berpikiran terbuka hingga siap untuk membuat kemajuan apapun. Untuk mencapai kualifikasi ini saja, ada banyak hal yang harus kita pikirkan dan banyak action yang harus kita lakukan. Be balanced! Bukankah menyenangkan untuk menjadi perempuan yang tidak hanya hobi ke salon dan spa tapi juga mengalokasikan waktu rutin ke toko buku dan seminar-seminar pengembangan diri? Bukankah menyenangkan untuk menjadi perempuan yang tidak hanya lancar bicara tentang gosip infotainment dan kosmetika yang bebas mercury dan hidroquinon tapi juga nyambung berbicara tentang pemilu, isu-isu sosial dan lingkungan hidup?

Keprihatinan yang kedua adalah, bagaimana isu kecantikan ini telah mengambil banyak sekali tempat di hati kita, hingga kita menjadikannya sebuah variabel penting bagi kebahagiaan hidup kita secara keeseluruhan. Bukankah sering kita tergerogoti virus minder terkait dengan kekurangan fisik? Pun kita seringkali tergoda untuk merasa less happy karena kebetulan wajah sedang jerawatan, berat badan naik satu kilo (HELOOOWW, I MEAN: SATU KILO GITU LHO), atau kulit kering karena kelamaan di ruang ber-AC sementara lupa pake body lotion. Hal-hal seperti ini akan membuat kita terserang bad mood dan terkadang yang lebih nggak make sense lagi adalah ini mempengaruhi ‘stabilitas’ hidup kita sepanjang hari. Bukankah ada istilah ‘Bad Hair Day’ –yang merujuk pada keadaan hari yang buruk karena keadaan rambut yang nggak oke –mungkin karena lupa keramas, nggak pake conditioner, atau karena pas kebetulan beraktivitasan di tengah terik matahari? Kita mendadak merasa punya alasan untuk merasa tidak hepi menjalankan hari dan rutinitas karena ‘kecacatan’ pada penampilan, padahal segala sesuatu toh sebenarnya kembali pada persepsi.

It’s undoubtly okay to be beautiful –malah harus menurutku. But, there’s nothing wrong for being less beautiful, even look horrible for some time. Why not? Kenapa kita tidak boleh sesekali tampak kacau, messy, bahkan mengerikan, namun tetap merasa hepi menjadi diri kita sendiri? Kenapa harus merasa inferior saat berhadapan dengan para finalis kontes ratu kecantikan yang membuat kita tampak seperti liliput buruk rupa? Bukankah: The way we value ourselves set standards for others? Jika kita melihat diri kita penuh cacat dan kekurangan, bagaimana mungkin orang bisa melihat aura penuh pesona yang memancar dari dalam diri kita?

Menurutku, orang yang yakin pada dirinya sendiri tampak sangat memukau, baik itu laki-laki maupun perempuan. Sementara orang yang tampak selalu punya banyak masalah, mempersoalkan hal remeh temeh, selalu mempunyai banyak stok isu untuk dikeluhkan, entah itu rupawan bak Penelope Cruz dan Brad Pitt sekalipun, tetap saja pada akhirnya akan tampak seperti sosok Dementor pada novel Harry Potter yang bisa ‘menghisap darah’ orang alias membuat bete sepanjangan.

So, I really ponder that, beautiful is all about being proportional viewing all and being happy unconditionally. Jikapun itu diikuti dengan kesempurnaan fisik, anggaplah itu bonus kita sebagai perempuan. Jikapun tidak, tetaplah proud of being yourself! Alasannya sederhana: di dunia ini, yang seperti kita hanya satu. Tidak ada seorangpun yang serupa dengan kita. Kenapa lantas merepotkan diri dengan ingin tampak seperti orang lain? Cantiklah sebagai diri kita, dan be happy celebrating the priceless-you!

Senin, April 06, 2009

Impulsive Buying: Dosa Besar Banyak Perempuan


Jalanlah ke mol pada akhir pekan, dan bisa dipastikan akan sulit sekali mencari areal parkir yang lowong saking padatnya pengunjung. Suatu kali saya mengungkapkan keheranan pada suami, “Ngapain aja sih Mas kerjaan orang-orang ini pada ngumpul di mol? Apa mereka nggak ada kerjaan?”, yang langsung ditimpali pria teman tidur saya itu dengan pertanyaan juga, “Lho, kita berdua ini, ngapain pada ke mol?”. “Kita kan ada perlu!”, jawab saya segera. “Lha iya, mereka juga ada perlu..”, selanya membuat saya manyun.

Tapi memang setelah saya ingat-ingat, saya adalah tipikal orang yang seringkali merasa ‘perlu’ ke mol, plaza, atau shopping centre manapun, dan jika sudah sampai disana saya selalu merasa ‘perlu’ untuk berbelanja, dan itu berarti merasa ‘perlu’ untuk memindahkan isi dompet ke kasir toko tersebut! Tampaknya mudah sekali bagi saya untuk menemukan alasan mengapa saya perlu barang-barang yang kemudian saya beli. “Oh iya, saya udah lama pengen beli kemeja putih karena yang lama udah pada nggak layak pakai”, “Sendalku udah buluk banget! Udah waktunya dipensiunkan..”, “Ih gelangnya antik deh! Matching kalo dipaduin dengan PDH cokelat hari kamis..”, dan seterusnya. Pendeknya saya jago berat dalam berargumentasi dengan diri sendiri dan suami untuk memenangkan perdebatan tentang: apakah barang ini layak dibeli?

Alhasil suami seringkali protes dengan kebiasaan impulsive buying saya itu. “Skala prioritas dong, Ay… “, nasihatnya yang biasanya saya aminkan untuk kemudian terlupakan lagi saat sudah berada di mol. Lantas beberapa pekan lalu, saat membereskan lemari pakaian saya seperti disentakkan oleh sebuah fakta yang mengagetkan. Ada banyak sekali baju yang baru saya beli yang bahkan belum pernah saya pakai sama sekali! Ada 2 buah bolero bahan rajut yang bahkan sampai sekarang saya nggak tau akan dipakai dalam momen apa yang kebetulan aja dibeli karena ada sale, 1 dress yang ogah banget dipakai karena amat sangat pasaran alias tampak dipakai semua orang yang lewat di jalan, 1 blus satin dengan model unik yang ternyata makenya nggak pede karena jadi kelihatan gendut, 1 dress bahan spandeks yang ‘amit-amit’ untuk dipakai karena warnanya yang bak pelangi, 1 blus rajut dan jins pensil yang ternyata amat full pressed body sementara saya nggak punya cukup kenekatan untuk mengenakannya (takut dirajam suami ;)) plus 1 buah tas cangklong berwarna putih yang kesemuanya sama sekali belum tersentuh! Ini belum termasuk dengan beberapa blus, kemeja dan tunik yang amat sangat jarang dipakai dengan berbagai ketidaksregan dan ketidakberesan yang saya temui pada barang-barang itu, hingga memperkuat alasan saya untuk hanya menumpuknya di lemari.

Saya lantas mengingat-ingat, kenapa ya shopping saya kok tidak efektif begitu? Dalam artian: mengapa saya banyak membeli barang-barang yang lantas saya sesali pembeliannya karena alasan A hingga Z?

Let’s see. Saya lantas menemukan bahwa, ada banyak sekali barang-barang yang saya belanjakan itu dengan dominasi ‘hawa nafsu’ alias tanpa pertimbangan yang matang. Just name it impulsive buying; berbelanja secara impulsif alias dengan spontanitas dan jarang disertai pemikiran mendalam -banyak yang menyebutnya lapar mata. Inilah dosa besar banyak perempuan-perempuan seperti saya. Sangat bertolak belakang dengan suami saya yang sekedar untuk membeli celana kaos oblong saja bisa berpikir sampai dua minggu! Sering sekali saya menggerutu karena bolak-balik dia melihat-lihat di toko tapi ujung-ujungnya berkata, “Ah, nggak usah dulu deh, kayaknya belum perlu..”. Hayyyah…

Tapi setidaknya saat ini saya sudah berpikir untuk insyaf ;). Amat dzalim jika saya wasting money untuk hal-hal yang tidak bermanfaat sementara banyak sekali orang diluar sana bahkan bolak-balik berpikir sekedar untuk membeli nasi karena uangnya tidak cukup. Boro-boro berpikir untuk membeli baju demi fashion! Oalah…

Nah, buat para perempuan dengan kecenderungan impulsive buying seperti saya, saya ingin sharing beberapa tips berdasarkan pengalaman selama menjadi impulsive buyer:

1. Jangan samakan manekin dengan Anda!

Kita sering sekali tertipu melihat betapa kerennya manekin dengan fashionable outfit yang kita pikir pasti keren sekali jika kita kenakan. Padahal faktanya manekin akan selalu tampak keren mengenakan apapun bahkan sarung sekalipun! Sementara kita-kita dengan tinggi badan ala kadarnya dan berat badan cukup memprihatinkan, kiranya lebih banyak mawas diri dan menahan ‘emosi’..

2. Make a note.

It’s cliché and will not work! Begitu mungkin teriakan banyak orang jika mendengar harus membuat ‘to-buy-list’, karena ujung-ujungnya toh akan banyak juga barang yang diluar daftar yang terbeli. Jadi percuma kan? Nah, disinilah perlunya seseorang berwibawa yang berkomitmen dengan kita untuk saling mengingatkan: bisa dalam bentuk suami, kekasih, atau kekasihnya teman (hehe, becanda). Meski kita bisa berdebat dan ‘minta dispensasi’, setidaknya nggak akan banyak-banyak banget selisihnya. Beda halnya jika berbelanja sendirian, atau malah berbelanja dengan teman yang hobi ngomporin, wahh dijamin malah banyak belanjaan diluar daftar yang ikutan terbeli. Jadi berapa uang yang kita habiskan untuk berbelanja akan sangat tergantung pada: siapa yang kita ajak untuk menemani kita belanja?

3. Sediakan kaki yang tidak gampang pegal.

Survey adalah prasyarat wajib sebelum memutuskan untuk bertransaksi. Untuk mendapatkan barang terbaik dengan harga paling kompetitif, kuncinya cuma sediakan waktu dan kaki yang nggak gampang pegal untuk keliling-keliling. So, wearing high heels is a big no-no! Cukuplah kaki kita terlihat seksi dengan sepatu/sendal berhak tinggi saat ngantor dan kondangan, tapi untuk shopping ‘kelas berat’, berbesar hatilah dengan mengenakan sandal teplek meski itu membuat orang-orang dengan tinggi seadanya seperti saya kelihatan jadi makin alakadarnya.

4. Asah bargaining skill.

Ini mutlak dipraktekkan tidak hanya untuk pasar tradisional atau pusat grosir tapi juga jika berbelanja di factory outlet, distro, dan butik. Cuma memang ‘gaya’ menawar kita yang membabi buta di pasar tradional –hingga bisa menawar hingga 70%- tidak bisa diterapkan di mol apalagi butik high class. Agar dipandang ‘berkelas’ saat belanja di tempat-tempat yang lebih eksklusif kita perlu menawar dengan gaya lebih elegan, “Oh, segitu? Mahal juga ya? Diskonnya berapa?”, dengan memasang wajah ‘bangsawan’ yang tak begitu butuh barang itu. Jika kita yakin harganya sekian, tembak saja, “Biasanya saya beli segini…”, “Harga biasa aja Mbak, saya kan udah langganan”, dan seterusnya. Kalau tawar-menawarnya alot, akhiri dengan harga yang kita rasa cukup pantas sebelum kita cabut . Kalau si penjual merasa OK dia akan memanggil agar balik lagi. Kalau nggak, artinya harga terakhir yang dia berikan itu sudah standar terendah. Tapi kalau saya sih, jika pramuniaganya sejak awal udah ngasih harga penawaran yang nggak make sense alias terlalu tinggi, saya suka ilfeel sendiri untuk sekedar menawar dan memilih untuk ngabur. Menurut saya sih, setinggi apapun harga penawaran, harus tetap reasonable.

5. Think about mixing and matching

Kita belanja baju untuk dipakai kan? Karenanya harus telah tersedia padanannya yang sesuai untuk di mix and match dengannya, hingga kita nggak kebingungan nanti mau dipakai dengan apa dan pada momen apa. Selucu apapun modelnya, kalau akhirnya tidak wearable, buat apa? Bayangkanlah, pada momen apa aja bisa dipakai, dan dipadukan dengan apa? Mix and match adalah skill ‘fardhu ain’ buat seorang fashionista. Meski saya nggak termasuk golongan itu, tapi saya percaya ini berlaku universal. Untuk kelihatan shining, kita nggak harus tampil lebay dengan mengeluarkan seluruh fashion item branded yang kita punya dari ujung kepala sampai kaki. Cobalah mix barang branded dengan dengan barang hunting dari lapak kaki lima misalnya.

6. Jangan pelihara gengsi.

Pilihan kemana akan berbelanja akan sangat ditentukan tentang apa yang akan dibelanjakan. Jika barang dengan kualitas yang sama bisa diperoleh di tempat-tempat alternatif namun dengan harga yang miring, kenapa mesti melangkahkan kaki ke butik kelas atas atau mol dengan fixed price demi prestise? Jika berhasil memperoleh barang yang sama dengan harga yang jauh lebih murah, harusnya kita bangga dong. Kecuali, jika kita memang hunting barang-barang kelas satu yang kebetulan memang tidak bisa disamakan kualitasnya dengan yang dijual di pusat grosir misalnya.

7. Jangan shopping untuk mengisi waktu luang.

Shopping lah karena memang ada tujuan untuk membeli apa, bukan hanya karena having nothing to do lalu melarikan diri ke mol utk shopping window. Yang ada bukan hanya jendela kita beli, tapi juga pintu-pintunya hingga atap gentengnya! Banyak dari kita yang mengusir rasa badmood dengan pergi shopping. Memang secara psikologi, belanja memicu aliran deras dopamin ke otak. Aliran itulah yang dirasakan ketika Anda jatuh cinta. Berbelanja juga bisa mengaktifkan endorfin. Dengan kata lain, tindakan berbelanja biasanya membuat orang merasa lebih baik. Jika kita memang sedang butuh refreshing, lebih baik ajak teman untuk hang out, atau melarikan diri ke toko buku. Meskipun sekeluarnya dari sini kita akan menenteng buku sebagai belanjaan, no problem then, karena buying books is not about spending money, but INVESTING one! Saat ini saya sedang menerapkan strategi: selesaikan buku yang baru dibeli, sebelum membeli buku lagi –untuk memotivasi saya tidak menumpuk buku yang tidak habis terbaca. Meski strategi ini lebih sering gagalnya, karena waktu yang tersedia sering terasa tidak mencukupi sementara nafsu membeli buku selalu menuntut untuk dipuaskan. Apa boleh buat.

8. Sebelum ‘kalap’ melihat sale, survey harga normalnya!

Kalau tidak tahu harga normalnya, mungkin kita merasa telah untung membeli barang dengan diskon 20% atau 50% misalnya. Padahal, sering sekali saya bandingkan barang-barang sale itu dengan barang yang sama di tempat lain yang lebih murah, jatuhnya masih lebih mahal barang yang telah didiskon itu.

9. Brand really Matters!

Bukan berarti kita kudu ngejar barang branded, justru sebaliknya, untuk barang-barang yang kita nggak butuh brand, carilah brand yang tidak terlalu populer atau lebih baik lagi brand lokal yang tentunya punya selisih harga lumayan banyak dengan barang yang sama dengan merek yang telah established. Untuk ATK misalnya, selama ada brand lokal yang kita yakin kualitasnya, kenapa mesti pilih brand terkenal yang jauh lebih mahal karena mahalnya tax import?

10. Sekali-kali nyobain ke Pasar Kaget, bisa nemuin barang lucu dengan harga murah meriah.

Memang belanja di Pasar-Pasar Kaget kudu lebih teliti karena barang bagus dan jeleknya nyampur. Tapi kalo jeli, bisa banget nemu barang-barang yang ‘kita banget’ tapi versi murahnya yang mungkin orang nggak bakal kepikiran semurah itu.

11. Jangan terlalu rajin ngegesek kartu kredit atau kartu debit.

For a shopaholic, cash is better! Banyak kasus dikejer-kejer debt collector karena terlilit utang yang tau-tau udah numpuk aja.. Ketimbang hidup nggak tenang, mendingan nggak usah banyak pake kartu kredit deh..

12. Biar gaji nggak sekedar numpang lewat: tabung dulu, baru dipake, bukan sebaliknya! Nah ini kata-kata Safir Senduk Perencana Keuangan yang terkenal itu, namun masih sering gagal saya praktekkan ;(. Idealnya memang, gaji langsung masuk ke rekening tabungan yang tanpa kartu ATM, lalu sisanya masukkkan tabungan operasional dengan kartu ATM hingga bisa ditarik sewaktu-waktu. Tapi idealitas inipun seringkali tak berlaku konsisten.. Berilah saya hidayah Ya Tuhan, agar bisa menuruti ide Om Safir Senduk itu..

13. Hati-hati belanja melalui shopping online.

Sekarang para sophaholic makin dimanja saja dengan makin maraknya situs belanja secara online. Nggak perlu berdesak-desakan ke toko grosir tapi bisa beli barang dengan harga grosir (kalo dapet shopping online yang murah), tinggal liat-liat catalog, pilih dan order via e-mail atau SMS, lalu transfer uangnya plus ongkos kirim. Dalam hitungan hari belanjaan kita telah nyampe di depan mata! Di kantor saya sekarang malah lagi ngetren banget belanja via internet begini. Tapi berdasarkan pengalaman, kita kudu ekstra teliti saat ngorder. Pertama: Foto kerapkali tidak merepresentasikan barang secara akurat, mulai dari tekstur bahan, gradasi warna, hingga ukuran. Kedua: Form pembelian harus diisi dengan detil karena kerapkali terjadi error pengiriman karena kekurangtelitian konsumer/miskomunikasi. Saya udah beberapakali dapet kasus begini dan ujung-ujungnya malah barangnya nggak kepake.

Anyway, semuanya akan berpulang pada konsistensi kita untuk being a smart shopper. Sebelum terlilit utang kartu kredit atau malah ‘jatuh miskin’ karena kebiasan impulsive buying, lebih baik kita ‘insyaf’ dari sekarang dan berbelanja secara proporsional alias sesuai kemampuan dan kebutuhan. Yahhh, dalam hal ini sih I’m still a beginner lahhh…