Senin, April 13, 2009

Bagaimana Cantik Didefenisikan?


Jika pertanyaan “Apa sih cantik menurut kita?”, the frequently given answers adalah: sosok perempuan tinggi langsing, berkulit putih cemerlang, dengan rambut panjang lurus yang tergerai indah, dan wajah mulus tanpa cela bak pualam. Terkadang kata ‘cantik’ diidentikkan pula dengan istilah ‘seksi’, yang berarti harus memiliki dada dan bokong besar dan kencang hingga tampak ‘sempurna’ sebagai seorang perempuan. Mau diaminkan atau disangkal, namun inilah stereotype yang melekat kuat pada society kita tentang ‘value’ seorang perempuan untuk bisa masuk pada kategori cantik. Jika tidak percaya, lihat saja beauty peagant atau kontes-kontes kecantikan yang seringkali ditayangkan secara on air di layar kaca. Dalam industri televisi, merekalah representasi dari sosok wanita cantik, dan sampai lebaran monyet juga kita nggak bakal nemu ada finalis berbadan pendek atau gendut disana. Kenapa? Ya karena itu tidak cantik!

Saat ini populasi penduduk dunia diestimasi sekitar 6,5 miliar orang (analisis Pusat Program Internasional di Biro Sensus AS), dan konon perbandingan perempuan dan laki-lakinya mencapai 10:1. Pertanyaannya adalah, dengan jumlah sebanyak itu lantas apakah untuk disebut cantik mereka harus tampil ‘seragam’? Apakah wanita-wanita Afrika yang berkulit cokelat harus ramai-ramai memutihkan kulit, wanita-wanita Amerika yang pirang dan keriting harus mengecatnya jadi hitam dan melakukan rebonding agar tampak lebih lurus, dan wanita-wanita Asia yang berbadan mungil harus melakukan operasi pembesaran payudara dan bokong? Belum lagi buat mereka yang memiliki hidung kurang mancung, badan kurang tinggi dan kelebihan berat badan, daftar ‘dosa’ mereka sebagai perempuan tampaknya menjadi amat panjang dan ini seolah akan menjadi sebuah legitimasi penilaian bahwa mereka tergolong BUKAN PEREMPUAN CANTIK.

Mungkin kita berpikir, stigmatisasi inilah yang membuat industri kecantikan termasuk produk kosmetika, salon dan pusat kecantikan hingga pusat kebugaran menjadi laku keras dan kian menjadi bisnis yang nggak ada matinya, dan ini berbanding lurus dengan meningkatnya awareness masyarakat terhadap pentingnya penampilan sebagai bagian dari image building. Namun sebenarnya, hukum yang berlaku adalah sebaliknya! Industri kapitalis dunia fashion dan kecantikanlah yang membentuk pencitraan tentang kecantikan sedemikian rupa sebagaimana yang diyakini masyarakat kita sekarang, dan industri media adalah backing yang mempromosikannya. Pendefenisian masyarakat tentang makna kecantikan itu sendiri bukan terbentuk secara serta merta, melainkan hasil dari bombardir media dengan caranya yang sangat cerdas, hingga jarang sekali kita menyadari bahwa kita tengah di brainwashed secara amat halus untuk melihat hal-hal kasat mata dan artifisial sebagai prioritas, dan pada akhirnya berpotensi untuk mencetak kita menjadi bangsa hedon yang amat mementingkan kulit– material – duniawi, dan dangkal memahami substansi – immaterial- ukhrawi.

Imbas mudahnya adalah: jutaan wanita mati-matian mengubah penampilan fisiknya agar bisa ‘menerima’ diri mereka sendiri sekaligus untuk merasa lebih diterima oleh lingkungan. Ini juga yang menjadi variabel penting yang membuat mereka lebih merasa berbahagia dengan hidupnya. Banyak sekali wanita ‘kurang bahagia’ yang lantas menderita bulimia dan anoreksia maupun eating disorder lainnya, atau untung bagi mereka yang kaya raya bisa melakukan facelift atau bedah plastik lainnya sesuai kebutuhan, namun bagi yang punya budget pas-pasan apa boleh buat: minta suntik ‘dokter-dokteran’ yang bisa menyulap penampilan fisik mereka hingga lebih wow meskipun untuk itu banyak yang akhirnya meregang nyawa.

Saya tidak mengatakan bahwa mengupgrade penampilan adalah hal buruk. Justru sebaliknya, ini adalah wujud kepedulian kita terhadap diri kita sendiri, hingga kita mau melakukan upaya terbaik untuk diri kita. Saya juga tidak mengklaim bahwa mereka yang mengubah penampilan fisik adalah mereka yang pasti kurang bersyukur. Justru mungkin itulah cara mereka mensyukuri anugerah fisik yang dikaruniakan: dengan mengoreksinya hingga makin tampak sempurna. Namun setidaknya ada dua hal yang kemudian menjadi isu memprihatinkan.

Pertama adalah bagaimana kita para wanita ini meletakkan urgensi kecantikan secara tidak proporsional, hingga mengabaikan aspek-aspek lain yang melengkapi value kita sebagai manusia. C’moon, ada banyak sekali kualitas kita sebagai manusia selain dari semata-mata menjadi cantik rupawan. Mengapa tidak menyeimbangkannya hingga kita tumbuh berkembang menjadi manusia yang paripurna? Menjadi wanita cantik yang tidak cerdas adalah sebuah kerugian karena bisa jadi ‘korban’ banyak kepentingan, dan menjadi wanita cantik yang tidak berkarakter adalah sebuah godaan menggiurkan yang lantas mudah untuk menjadi membosankan, seperti halnya menjadi wanita cantik tanpa manner akan tampak mengesalkan. Bagaimana dengan menjadi wanita cantik yang minus kesadaran beragama? Saya cuma bisa bilang: berbahaya.

Jika kita mau menginvestasikan begitu banyak waktu, tenaga dan biaya untuk mengupgrade aspek kecantikan lahiriah, mengapa tidak melakukan hal yang sama untuk mengupgrade kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional (termasuk didalamnya kecerdasan interpersonal), kecerdasan spiritual, dan banyak kecakapan hidup (life skills) yang menunjang value kita sebagai manusia? Saya sih percaya, jika kita sibuk menguprade seluruh aspek ini secara kontinyu, kita ga akan sempat untuk mengutuki kekurangan fisik hingga membuat kita rela untuk jadi seorang anoreksia! Ada terlalu banyak agenda yang harus kita selesaikan, terlalu banyak keterampilan yang ingin kita pelajari, dan terlalu banyak target yang ingin kita capai; mengapa menghabiskan banyak waktu dengan sebagian kecil dari value kita itu? Menjadi cantik saja tidak cukup, kita juga perlu untuk punya attitude, strong character and high determination, menjadi kompeten pada bidang kita sekaligus broad-minded alias berwawasan luas dan berpikiran terbuka hingga siap untuk membuat kemajuan apapun. Untuk mencapai kualifikasi ini saja, ada banyak hal yang harus kita pikirkan dan banyak action yang harus kita lakukan. Be balanced! Bukankah menyenangkan untuk menjadi perempuan yang tidak hanya hobi ke salon dan spa tapi juga mengalokasikan waktu rutin ke toko buku dan seminar-seminar pengembangan diri? Bukankah menyenangkan untuk menjadi perempuan yang tidak hanya lancar bicara tentang gosip infotainment dan kosmetika yang bebas mercury dan hidroquinon tapi juga nyambung berbicara tentang pemilu, isu-isu sosial dan lingkungan hidup?

Keprihatinan yang kedua adalah, bagaimana isu kecantikan ini telah mengambil banyak sekali tempat di hati kita, hingga kita menjadikannya sebuah variabel penting bagi kebahagiaan hidup kita secara keeseluruhan. Bukankah sering kita tergerogoti virus minder terkait dengan kekurangan fisik? Pun kita seringkali tergoda untuk merasa less happy karena kebetulan wajah sedang jerawatan, berat badan naik satu kilo (HELOOOWW, I MEAN: SATU KILO GITU LHO), atau kulit kering karena kelamaan di ruang ber-AC sementara lupa pake body lotion. Hal-hal seperti ini akan membuat kita terserang bad mood dan terkadang yang lebih nggak make sense lagi adalah ini mempengaruhi ‘stabilitas’ hidup kita sepanjang hari. Bukankah ada istilah ‘Bad Hair Day’ –yang merujuk pada keadaan hari yang buruk karena keadaan rambut yang nggak oke –mungkin karena lupa keramas, nggak pake conditioner, atau karena pas kebetulan beraktivitasan di tengah terik matahari? Kita mendadak merasa punya alasan untuk merasa tidak hepi menjalankan hari dan rutinitas karena ‘kecacatan’ pada penampilan, padahal segala sesuatu toh sebenarnya kembali pada persepsi.

It’s undoubtly okay to be beautiful –malah harus menurutku. But, there’s nothing wrong for being less beautiful, even look horrible for some time. Why not? Kenapa kita tidak boleh sesekali tampak kacau, messy, bahkan mengerikan, namun tetap merasa hepi menjadi diri kita sendiri? Kenapa harus merasa inferior saat berhadapan dengan para finalis kontes ratu kecantikan yang membuat kita tampak seperti liliput buruk rupa? Bukankah: The way we value ourselves set standards for others? Jika kita melihat diri kita penuh cacat dan kekurangan, bagaimana mungkin orang bisa melihat aura penuh pesona yang memancar dari dalam diri kita?

Menurutku, orang yang yakin pada dirinya sendiri tampak sangat memukau, baik itu laki-laki maupun perempuan. Sementara orang yang tampak selalu punya banyak masalah, mempersoalkan hal remeh temeh, selalu mempunyai banyak stok isu untuk dikeluhkan, entah itu rupawan bak Penelope Cruz dan Brad Pitt sekalipun, tetap saja pada akhirnya akan tampak seperti sosok Dementor pada novel Harry Potter yang bisa ‘menghisap darah’ orang alias membuat bete sepanjangan.

So, I really ponder that, beautiful is all about being proportional viewing all and being happy unconditionally. Jikapun itu diikuti dengan kesempurnaan fisik, anggaplah itu bonus kita sebagai perempuan. Jikapun tidak, tetaplah proud of being yourself! Alasannya sederhana: di dunia ini, yang seperti kita hanya satu. Tidak ada seorangpun yang serupa dengan kita. Kenapa lantas merepotkan diri dengan ingin tampak seperti orang lain? Cantiklah sebagai diri kita, dan be happy celebrating the priceless-you!

3 komentar:

  1. I think the best medicine to cure mental diseases (males itu salah satunya) is changing paradigm. mengubah paradigma akan membuat kita mengubah attitude, bukan sebaliknya.

    BalasHapus

any ideas to share?