Selasa, Mei 12, 2009

Dale Carnegie Syndrome


Pada hari yang sama saya berangkat ke Bandung untuk workshop Capacity Building Tahap II, bossku (baca: ayah) terbang ke Surabaya untuk mengikuti Dale Carnegie Training, sebuah Pelatihan Pengembangan Diri yang diselenggarakan Dale Carnegie Indonesia untuk Pertamina Learning Center. Ternyata secara kebetulan, pada waktu yang sama dan pada hotel yang sama dengan saya, berlangsung pula Dale Carnegie Training yang entah diikuti oleh corporate mana. Serta merta saya jadi terpikir: hari gini ternyata masih ngetren ya Dale Carnegie syndrome?

Dale Carnegie memang nama yang besar dalam dunia motivasi dan pengembangan diri, selain tentu saja Napoleon Hill (yang terkenal dengan best sellernya The Power of Positive Thinking), Anthony Robbins (Awaken the Giants within You’), David Schwartz (bapak ‘The Magic of Thinking Big’), lalu diikuti ‘era baru’ milik Stephen Covey (Seventh Habits) dan lain-lain. Saya masuk dalam ‘arus’ Dale Carnegie (selanjutnya sebut saja DC) saat membaca salah satu best seller-nya Petunjuk Menikmati Hidup dan Pekerjaan Anda yang pertamakali saya baca semasa SMP. Bisa dikatakan semua pemikiran DC memang inspiratif dan memperkaya perspektif. Tak heran jika pengaruh DC amat meluas bahkan hingga puluhan tahun kemudian.

Ari Ginanjar Agustian –bapak ESQ Indonesia- pernah menyinggung DC seperti ini:

Jika kita pelajari isi keseluruhan buku DC ‘Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain’ maka Anda akan merasakan bahwa semuanya adalah penjabaran dari sifat rahman dan rahim kepada sesama manusia. Kita tahu sifat tersebut milik Tuhan. Suara hati kitapun akan membenarkan hal ini. Namun secara prinsip berbeda; yaitu antara prinsip yang memberikan kasih sayang karena Allah SWT dibandingkan prinsip bukan karena Allah. Itulah perbedaan yang mendasar.

Lalu saat membahas efektivitas Bismillahirrahmanirrahim pada bahasan salah satu Zero Mind-nya, Agustian juga menyebut-nyebut DC dengan lebih signifikan:

Prinsip Bismillah, bersumber dari suara hati terdalam, akan menghasilkan sikap-sikap yang mampu mencerminkan sifat rahman dan rahim: memberi perhatian pada orang lain, empati, mau mendengar, senang menolong, selalu mengucapkan terimakasih, suka menghargai, memberikan senyum yang tulus. Anda mungkin berpikir bahwa hal diatas sama dengan teori DC. Saya ingin menekankan hal yang sangat penting dan mendasar, yang membedakan prinsip Bismillah dengan teori DC.

Prinsip Bismillah mampu menghasilkan teori-teori DC karena bersumber dari suara hati yang rahman dan rahim, suatu kesadaran diri bahwa manusia adalah aset Allah yang harus dihargai. Sedangkan teori DC didasari pada prinsip menghargai orang lain dengan tujuan bisa memperoleh teman dan pengaruh. Jika penganut konsep DC kehilangan penghargaan dari orang lain, niscaya dia akan goyah. Namun orang dengan prinsip Bismillah, bahkan kehilangan penghargaan atau dihina sekalipun, tidak akan goyah karena berpegang pada Tuhan, bukan kepada manusia.

Agustian lalu mencontohkan prinsip Bisimillah:

Suatu hari Nabi Muhammad SAW didatangi seorang nenek tua, beliau menghamparkan sorbannya sebagai alas duduk si nenek, dan lalu selama satu jam dihabiskan untuk berbincang-bincang. Anda tahu materi pembicaraannya? Rasulullah hanya mendengarkan si nenek bercerita tentang cucunya yang lucu.

Bila Rasulullah bersalaman dengan Anda, beliau akan bersalaman dengan erat sambil menatap mata Anda, tersenyum dan tidak melepaskan genggamannya sampai Anda sendiri yang melepasnya. Dan Nabi Muhammad SAW belum pernah ikut kursus Dale Carnegie pada masa 1400 tahun yang lalu :)

Lantas bagaimana Agustian menempatkan gempuran literatur pengembangan diri yang berfokus pada pentingnya keterampilan pembentuk kepribadian sebagai penuntun kesuksesan? Bahwa keberhasilan seseorang banyak ditentukan oleh teknik membuat orang lain senang dengan cara tersenyum, berfokus pada minat orang lain, mengingat nama orang dan lain sebagainya.

Agustian secara jelas menyatakan bahwa,

Pada prinsipnya saya merasa semuanya sebatas teori yang menyentuh permukaan yang tak mampu menerobos akarnya. Akibatnya menghasilkan orang yang berprinsip pada penghargaan semata. Literatur baru lalu memperkenalkan arti paradigma, visi, dan kemenangan publik, yang dianggap lebih menyentuh sisi terdalam manusia. Disini ditekankan pentingnya berpusat pada prinsip, namum tak jelas prinsip apakah itu. Jika kita pelajari semua, kita akan menyadari bahwa sebenarnya Pikiran Bawah Sadar baik menurut Napoleon Hill, Keajaiban Berpikir Besar menurut David J.Scwartz, Ph.D, maupun Kecerdasan Emosi menurut Robert K. Cooper, Ph.D., memiliki kaidah yang sama namun berbeda nama. Itulah bentuk usaha pencarian mereka akan kebenaran, yang pada akhirnya akan tiba di suatu sumber, baik sadar atau tidak. Semua akan mengakui kebenaran Allah SWT dan Alquran pada akhirnya. Umumnya orang-orang menjadikan buku-buku barat atau ilmu pengetahuan sebagai pegangan dan kiblat, atau bertuhan pada ilmu, bukan pada pemilik ilmu, yaitu Sang Pencipta Ilmu.

Saya tidak serta merta antipati pada tokoh-tokoh pemikir, motivator, ahli pengembangan diri dan self-help dari barat, bahkan sampai sekarang masih suka juga membaca buku-buku seperti itu. Salah satu yang menjadi favorit saya adalah seri Don’t Sweat-nya Richard Carlson, Ph.D, dan yang paling relevan adalah Don’t Sweat the Small Things at Work, yang semua poinnya tampaknya ditujukan pada saya, yang punya kebiasaan membesar-besarkan masalah kecil terkait office life :D. I think, practical guide-nya cukup membantu. Namun sekali lagi, be aware that, the essence of living selalu lebih dalam dari hanya sekedar tuntunan praktis yang ditawarkan buku-buku semacam itu. Pada akhirnya toh kita akan turning into some higher points, dimana kita membutuhkan tuntunan yang lebih mendalam dan menyentuh seluruh kesejatian kita sebagai mahluk Tuhan. Itulah yang menjelaskan mengapa kita lebih merasa tenteram setelah menghibur diri dengan membaca La Tahzan-nya Dr. Aidh Al-Qarni dibanding setelah membaca Happy People: 100 Rahasia Membuat Hidup Bahagia-nya David Niven, Ph.D meski yang terakhir ini tampak lebih saintifik karena merupakan hasil riset para ilmuwan tentang sikap hidup yang menciptakan kehidupan.

Moral lesson dari tulisan ini: daripada corporate membayar mahal untuk mengkursuskan karyawannya pada Dale Carnegie Training, lebih baik diikutsertakan saja pada Pelatihan ESQ deh! Saya baru sempat mengikuti re-training-nya pada lembaga tempat mengajar dulu –mudah-mudahan tidak basi untuk mengikutinya nanti-nanti. Saat ayah diikutsertakan perusahaan pada ESQ Leadership Training, saya juga melihat ini investasi penting bagi pengembangan diri dan corporate. ESQ menggugah dan mengubah kehidupan karena berbeda dari pelatihan lain dan bukan sekedar pelatihan kepemimpinan atau manajemen biasa. Mengutip brosur pelatihannya, ESQ Training merupakan pelopor pelatihan yang mengasah sisi spiritual dengan mendalam, bersamaan dengan sisi emosi dan intelektual seseorang. ESQ hadir untuk siapa saja yang berkeinginan untuk membentuk karakter manusia paripurna. ESQ juga upaya untuk menjembatani rasionalitas dunia usaha dengan prinsip ketuhanan. Melengkapi makna sukses dengan nilai-nilai spiritual yang mendalam, menuju esensi hidup bahagia yang sesungguhnya.

The last one is, for your information, Dale Carnegie yang pemikirannya memotivasi jutaan orang di berbagai belahan dunia itu (that’s what I call DC syndrome ;)), ternyata mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara bunuh diri. See? Ternyata amat dangkal konsep hidup yang tidak dimuarakan pada kedalaman sisi-sisi spiritual manusia.

14 komentar:

  1. Mba' Dale Carnegie ngga bunuh diri
    Coba dibaca2 dulu faktanya sebelum bikin artikel...

    BalasHapus
  2. ada beberapa sumber yg menyebutkan dgn pasti bahwa DC memiliki riwayat frustasi hingga bunuh diri, bbrp mengatakan terpikir utk bunuh diri, namun ada jg bbrp sumber yg mengatakan bahwa itu tdk benar. apapun itu, thanks buat inputnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh minta sumber yang mengatakan dgn pasti bahwa DC memiliki riwayat frustasi hingga bunuh diri?

      Hapus
  3. Bener mba, sebaiknya diteliti dulu sebelum memposting dan mengatakan dia bunuh diri..tapi yg kebanyakan sih guru2 self help bercerai dengan pasangannya setelah sukses...Aneh juga ya..mengajarkan integritas kok malah cerai?? dari Jack Canfield, Anthony robbins, Steve Palina samapai Dale Carniege...

    BalasHapus
  4. krn para guru self-help tersebut berlatar belakang budaya barat, sbnrnya sngat mungkin 'value' yg mereka anut ttg prinsip2 hidup yg substansial tdk sepenuhnya sama dgn 'value' kita sbg org timur -lbh spesifik lagi muslim misalnya. termasuklah pandangan ttg lembaga perkawinan itu sendiri. banyak dari mereka yg memang melihat perkawinan sbg something sacred & berprinsip utk getting married once in a lifetime, namun tdk sdikit juga yg memiliki pandangan yg lbh longgar, bahkan terkdg liberal. yg memilih utk tdk menikah saja banyak kok :)
    disinilah urgensinya tdk minded dgn pemikiran2 org2 tertentu saja, semakin banyak perspektif akan makin baik, dan mnjadi referensi bagi kita utk memiliki 'our own value'.
    bukan begitu mbak? thanks for the comment :)

    BalasHapus
  5. info yg sangat bermanfaat mba

    BalasHapus
  6. tulisan bagus mbak

    BalasHapus
  7. Kayak banyak sekali buku motivasi yang mbak baca, dari sekian banyak yang mbak baca buku apa yang kira bisa untuk jadi referensi saya yang hidupnya berpindah2. Sesuai kebutuhan perusahaan yang biasanya selalu jauh dari kota. Makasih

    BalasHapus
  8. Dale Carnegie mati bunuh diri - ini menjadi bukti betapa kering dan kosong semua teori kalo tidak disandarkan kepada sebaik-baik kitab panduan ( al quran ) - mencari di luar buku mukjizat dari sang pencipta dijamin akan salah jalan - inilah kitab tidak ada keraguan didalamnya petunjuk bagi orang2 yang bertaqwa ( QS surat ke 2 ayat 2 )

    BalasHapus
  9. Untuk dale carnegie yang mati bunuh diri kira nya itu memang kebohongan publik ya , saya kira perlu di perbarui lagi lah artikelnya , takut nya bisa menyesatkan , trimakasih :)

    BalasHapus
  10. artikel yg baik dan sekaligus kontroversial. Dan informasi didalamnya perlu ditinjau ulang. Untuk bagian terakhir, pada bagian dale carnegie bunuh diri itu adalah hal yang keliru. Jika mba agustin tidak sepaham dengan materi yang diberikan dale carnegie bukan seperti ini caranya, mba agustin bisa dengan menulis artikel yang tidak menimbulkan kerancuan. Ada baiknya jika kita hendak memberi informasi kepada orang lain, validitas info yg kita berikan wajiblah akurat dan tepat. Saya yakin anda bisa membuat artikel ini lebih menarik lagi. Saya senang bila artikel ini diperbaiki dan menjadi artikel yang lebih baik. Terimakasih

    BalasHapus
  11. Mau bunuh diri atau tidak tapi tidak ada yg bisa membantah "DC mengalami masa frustasi yang panjang, hingga akhir hayat!!!

    BalasHapus
  12. artikel yang bagus dan menambah pengetahuan. untuk bukunya sendiri, sy juga berfikir bahwa buku2 motivasi yang islami lebih mendidik dan lebih membuat kita lebih dekat kepada Sang Khalik.

    BalasHapus

any ideas to share?