Kamis, Juli 29, 2010

Menjawab Kritik "Gagal"nya Pengajaran Bahasa Inggris: Upaya Memahami Kembali Filosofi Kurikulum Berbasis Literasi

Abstract: Many criticisms are embattled to the teaching of English as a Foreign Language by our teachers due to incompetent outputs. The students who have experienced learning English for at least six years in secondary schools seem to lack of competence in using their English in the real contexts so that it lessens their opportunity to compete strictly in this global era. This paper tries to elaborate the need of putting the paradigm of EFL teaching into what we call as literacy-based curriculum. By using literacy-based approach in EFL teaching, students are prepared to have competence to take part in modern societies. Creating literate generation as the final purpose of language teaching at schools are in urgency considering the facts that low level of literacy is strongly correlated with the indicator of human development index.

Key Words: literacy-based curriculum, EFL teaching


I. Pendahuluan

Banyak sekali kritik tajam mengarah pada pengajaran Bahasa Inggris di sekolah yang dinilai gagal, yang diantaranya justru dilemparkan oleh praktisi pendidikan sendiri. Keterampilan berbahasa (Inggris) para lulusan SMA/MA/sederajat kerap kali dinilai tidak operasional, yang mengakibatkan mereka tidak kompetitif memasuki dunia global. Salah satu kritik misalnya datang dari seorang dosen Fakultas Bahasa Universitas Negeri Surabaya, Abbas A Babib seperti yang dilansir Media Indonesia pada 6 Nopember 2000 yang menilai bahwa pengajaran bahasa Inggris yang diterapkan di Indonesia gagal total karena kemampuan menulis, mendengar, dan berbicara dalam bahasa Inggris lulusan SLTA sama sekali tidak operasional. "Ini merupakan kerugian yang tak ternilai bagi ketenagakerjaan dan perekonomian Indonesia. Akibat kegagalan ini, lulusan SLTA tidak kompetitif dalam dunia bisnis," begitu kritik Abbas.

Terdapat banyak hal mencolok yang dapat dijadikan sebagai indikator dari kegagalan pengajaran Bahasa Inggris, diantaranya:

1. Tidak terbekalinya para lulusan SMA/sederajat dengan keterampilan berbahasa yang memadai, seperti yang dikritik Artsiyanti (2002) dan Furchan (2009). Selama ini para siswa tampaknya banyak belajar tentang bahasa Inggris, bukan belajar berbahasa Inggris, sehingga menghasilkan pengetahuan tapi bukan keterampilan.

2. Menjamurnya kursus Bahasa Inggris sebagai tuntutan atas ’tidak memadainya’ pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah, seperti yang dikritik Widiyanto (2008) dan Artsiyanti (2002). Saat ini menguasai Bahasa Inggris secara praktis dan instan tampak makin menjadi tren dengan banyak jargon memikat seperti ”We Make English Easy”, ”Others Teach You English, We Make You Speak”, atau yang bombastis ”Kuasai Bahasa Inggris dalam waktu 50 jam saja”. Banyak pendapat mengatakan bahwa tidak mungkin kursus-kursus Bahasa Inggris sedemikian menjamurnya di Indonesia jika hasil pengajaran Bahasa Inggris di sekolah ternyata memuaskan. Jika demikian halnya, maka kursus Bahasa Inggris yang ada hanyalah yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan khusus seperti untuk memperoleh sertifikat TOEFL, IELTS, dan lain-lain serta bukan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Dus, menjamurnya kursus ini ditengarai merupakan reaksi dari ’kurang puas’nya, dan ’kurang terbekalinya’ para pelajar dengan pengajaran yang diterima di sekolah.

3. Pendekatan komunikatif yang bertujuan untuk mengembangkan empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis) kerap kali diimplementasikan oleh guru dengan lebih mengutamakan kecakapan lisan daripada kecakapan memahami wacana. Lebih jauh sebagaimana ditengarai Celce-Muria, Dornyei dan Thurrel (1997) dan juga Mullock (2002) seperti yang dikutip Djiwandono (2009), keyakinan ini masih diiringi oleh gejala mengorbankan ketetapan tata bahasa untuk mencapai kefasihan bertutur, yang akibatnya gejala ”Me understand you, you understand me, no problem lah”, menjadi semakin umum. Hasilnya bisa dipastikan: ”Broken English” (alias Bahasa Inggris yang tidak jelas dan asal bunyi).

4. Hingar bingar Ujian Nasional (UN) tampak makin menjauhkan para guru dari idealisme tujuan pembelajaran Bahasa Inggris itu sendiri, seperti yang juga dikatakan oleh Riza (2006). UN jelas hanya mengujikan penguasaan komponen-komponen Bahasa Inggris (structure, vocabulary dan lain-lain) namun bukan penguasaan berbahasa secara integratif. Momok UN mau tak mau membuat para guru mengarahkan seluruh fokus perhatian, materi dan aktivitas pembelajaran terhadap kelulusan UN, bahkan model soal UN juga disimulasikan dalam kelas.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana hendaknya para praktisi pendidikan menyikapi dan meminimalisir potensi ’kegagalan’ pengajaran Bahasa Inggris ini seperti banyak yang dialamatkan pada para guru di sekolah/madrasah selama ini? Makalah ini mencoba untuk mendudukkan kemantapan pandangan kita kembali pada filosofi kurikulum berbasis literasi dan mendasarkan tiap pembelajaran pada prinsip-prinsip literasi, sebagai usulan jawaban untuk permasalahan mendasar pada pengajaran Bahasa Inggris di sekolah/madrasah.

Seperti yang kita ketahui, khusus mata pelajaran bahasa Inggris, kurikulum 2004 disebut juga sebagai Kurikulum Berbasis Literasi (untuk selanjutnya disingkat KBL), yang diharapkan mampu mendongkrak tingkat literasi anak bangsa. Ini merupakan pergeseran paradigma pengajaran bahasa menuju ke pengajaran bahasa yang menyiapkan siswanya untuk memiliki kompetensi agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat modern. Pendekatan literasi dalam bahasa berkaitan dengan penggunaan pendekatan mengajar guru yang mengarahkan agar siswa dapat berpartisipasi aktif dalam masyarakat.


II. Mengapa Pendekatan Literasi?

Berdasarkan asal kata, literasi berasal dari kata literacy yang artinya melek huruf (Echols dan Shadily, 1995: 361). Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s (1989: 728), literacy disebutkan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Secara sederhana, Manullang (2009) mengartikan literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis (melek aksara) atau kemampuan menggunakan bahasa untuk membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. Dalam program pemerintah, literasi seringkali diterjemahkan lurus menjadi program Calistung, Baca-Tulis-Hitung. Paling tidak itulah program awal yang berkaitan dengan literasi, karena memang yang menjadi target adalah angka melek-huruf rakyat Indonesia. Standar minimum melek huruf di Indonesia memang bisa membaca, baik itu huruf latin, dan/atau huruf Arab.

Program melek huruf sudah menjadi program PBB, karena dipercaya melek huruf memiliki kaitan sangat erat dengan kemiskinan. Untuk itu, hari melek huruf diperingati setiap tahunnya pada 8 September. Di Indonesia sendiri, berdasarkan informasi di web tempointeraktif.com, pada semester pertama 2006, jumlah buta aksara mencapai 8,36 persen atau 3.182.492 orang. Pemerintah menargetkan buta aksara usia 15 tahun ke atas, turun menjadi 5 persen pada 2009.

Namun persoalannya, apakah ‘melek huruf’ berarti sekedar hanya bisa membaca menulis dan menghitung (calistung)? Secara komprehensif ‘melek huruf’ sebenarnya mencakup mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari bahan-bahan cetak dan tulisan. Karenanya istilah literasi berkembang, literasi dimaknai secara luas sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Kirsch dan Jungeblut dalam Literacy: Profiles of America’s Young Adults seperti dikutip Manullang (2009) mengatakan bahwa seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.

Literasi dapat berlangsung pada bidang apapun, kita mengenal literasi sains, literasi matematika, literasi teknologi dan informasi, bahkan literasi media. Adapun literasi bahasa dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis seseorang pada tingkat minimal yang digunakan sebagai alat komunikasi, atau kemampuan berbahasa seseorang yang pada suatu tingkatan tertentu ide-idenya dapat dikomunikasikan dan dipahami dalam suatu masyarakat yang literate sehingga orang tersebut dapat berperan dalam masyarakat tersebut. Kern (2000) memberikan defenisi literasi dalam konteks akademik pendidikan bahasa kedua atau bahasa asing sebagai berikut, yang dapat ditarik sebuah prinsip makronya yaitu bahwa literasi melibatkan komunikasi:

Literacy is the use of socially, historically, and culturally situated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationship between textual conventions and their context of use and ideally, the ability to reflect critically and those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic –not static, and variable across within discourse communities and cultures. It draws in a wide range of cognitive abilities, and knowledge of written and spoken language, and knowledge of genres, and on cultural knowledge.

Dus, menciptakan generasi literat sebagai tujuan akhir dari pengajaran di sekolah telah menjadi demikian urgen, mengingat fakta bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran, yang ketiganya merupakan indikator rendahnya indeks pembangunan manusia (Wagner: 2000 dalam Manulang: 2009). Literasi yang dimiliki oleh suatu masyarakat tampak sangat menentukan corak kehidupan masyarakatnya. Negara maju cenderung telah memiliki standar literasi yang lebih tinggi daripada negara-negara dunia ketiga. Dengan demikian tak berlebihan jika dikatakan agar negara kita mencapai tingkat kemajuan yang lebih berarti, pemerintah harus ekstra bekerja untuk meningkatkan standar literasinya.

Karenanya tak mengherankan jika dewasa ini kecenderungan yang sedang berkembang di negara-negara maju adalah mewujudkan pendidikan melalui pembangunan kemahiran wacana (literacy education). Tujuan literasi ini adalah agar setiap warga negara mampu berkomunikasi (baik lisan maupun tulisan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dus, pengajaran bahasa Inggris juga diarahkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa yang menjadikan siswa mandiri sepanjang hayat, kreatif, dan mampu memecahkan masalah dengan cara menggunakan kemampuan berbahasa Inggrisnya.

Hal ini sebetulnya relevan dengan kurikulum yang kita pakai yang secara jelas menetapkan bahwa pembelajaran bahasa Inggris dimaksudkan sebagai upaya pembelajaran bahasa sebagai alat komunikasi; yaitu bagaimana siswa dapat menggunakan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu sebagai bahasa komunikasi. Oleh karena itu, pengajaran bahasa Inggris difokuskan pada kompetensi wacana atau teks (discourse competence) dengan asumsi bahwa dalam berkomunikasi orang menciptakan wacana, baik secara lisan maupun tulis. Dengan kata lain, tugas guru bahasa adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi atau untuk saling bertukar makna (Depdiknas, Landasan Filosofis dan Teoritis Pendidikan Bahasa, 2004). Karenanya dapat dicapai kesepakatan final bahwa pengajaran bahasa Inggris harus menekankan pada pentingnya penggunaan bahasa secara wajar dan otentik guna mengembangkan life skills, yaitu mampu melayani kebutuhan siswa sebagai anggota masyarakat.


III. Landasan Filosofis Kurikulum Bahasa Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris Berdasarkan Literasi

Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti perenialisme, esensialisme, eksistensialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Beberapa pandangan filosofi kurikulum dijelaskan berikut seperti dikutip Supriatna (2007).

Esensialisme adalah aliran yang menekankan bahwa kurikulum harus menekankan pada penguasaan ilmu, hingga kurikulum yang dikembangkan dalam aliran esensialisme adalah kurikulum disiplin ilmu. Dengan adanya dominasi guru dalam pembelajaran, maka akan menekankan pembelajaran yang academic exellence and cultivation of intelect, daripada kemampuan untuk mengembangkan proses inquiry guna memproduksi pengetahuan baru.

Selanjutnya aliran Perenialisme memandang bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terikat oleh ruang dan waktu. Kurikulum akan menjadi sangat ideologis karena dengan pandangan perernialisme menjadikan peserta didik sebagai warga negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh negara. Pandangan perenialis lebih menekankan pada transfer of culture.

Sedangkan filsafat progresivisme memandang bahwa sekolah bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang disajikan. Masalah tersebut ditemukan berdasarkan pengalaman siswa. Terakhir, filsafat rekonstruksionisme berpendapat bahwa sekolah harus diarahkan kepada pencapaian tatanan demokratis yang mendunia. Aliran ini menghendaki agar setiap individu dan kelompok mampu mengembangkan pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran guna memproduksi pengetahuan baru. Aliran filsafat ini lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran mampu menemukan (inquri). Aktivitas siswa menjadi prioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.

Selain aliran filsafat diatas, terdapat pendekatan kompetensi komunikatif yang dibangun oleh Celce-Muria, Thurrel dan Dornyei (1995) yang menunjukkan pada kita kompetensi apa saja yang perlu dikembangkan pada pelajaran Bahasa Inggris dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Menurut pandangan ini, diperlukan kompetensi berbahasa yang tak hanya menuntut ketepatan gramatikal tapi juga ketepatan dalam konteks sosial. Kompetensi komunikatif terdiri atas empat area kompetensi, yaitu: linguistic, sociolinguistic, discourse, dan strategic competences. Berikut ini penjelasan masing-masing kompetensi tersebut:

a. Linguistic competence, menjelaskan bagaimana menggunakan grammar, syntax, dan vocabulary dalam bahasa. Berupaya menjawab pertanyaan berikut: “Kata apa yang saya gunakan?”; Bagaimana saya memasukkannya dalam suatu kalimat?”.

b. Sociolinguistic competence, menjelaskan bagaimana menggunakan dan merespon bahasa secara tepat sesuai dengan situasi dan topik dan hubungannya dengan orang-orang yang terlibat dalam komunikasi. Berupaya menjawab “Kata dan kalimat apa yang tepat saya gunakan dalam situasi ini?”; “bagaimana saya mengekspresikan sikap tertentu (resmi, persahabatan)?”; Kapan saya melakukan itu?”; “Bagaimana saya mengetahui respon yang diberikan oleh lawan bicara saya?”.

c. Discourse competence, menjelaskan bagaimana menafsirkan bahasa dalam konteks yang lebih luas dan bagaimana kesatuan bahasa yang padu secara keseluruhan. Pendapat lain mengatakan bahwa discourse competence terkait dengan interaksi dalam percakapan, yaitu kemampuan berpartisipasi aktif dalam percakapan. Pertanyaan yang harus dijawab adalah “Bagaimana kata, frasa, dan kalimat ditempatkan bersama dalam suatu percakapan, pidato, email, artikel koran, dan lain-lain?

d. Strategic competence, menjelaskan bagaimana mengenal dan memperbaiki bagian-bagian dari wacana yang dikomunikasikan? Pertanyaan yang harus dijawab adalah “Bagaimana saya mengetahui telah terjadi miskomunikasi, baik dari saya atau dari lawan komunikasi saya?”; Apa yang harus saya katakan kemudian?”; “Bagaimana saya mengekspresikan apa yang harus saya katakan tentang sesuatu bila saya tidak mengetahui nama sesuatu atau kata yang tepat dalam kalimat yang saya gunakan?”.

Dus, paham yang masih relevan diterapkan dalam pembelajaran bahasa adalah paham konstruktivisme (bagian dari kognitivisme) dan kompetensi komunikatif. Selanjutnya dalam pembelajaran bahasa dengan pendekatan literasi kedua paham ini yang akan dikembangkan.

Seperti yang dikatakan Sukmadinata (2002), rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu. Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.

Lebih lanjut dikatakannya, aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.

Beberapa pemikir konstruktivis seperti Vigotsky menekankan berbagi dan konstruksi sosial dalam pembentukan pengetahuan (konstruktivisme sosial); sedangkan yang lain seperti Piaget melihat konstruksi individu lah yang utama (konstruktivisme individu).
Terkait dengan hal ini, Hoy dan Miskel (2005) seperti yang dikutip Sumintono (2009) menjelaskan tentang konstruktivisme sosial. Berbeda dengan Piaget, Vygotsky percaya bahwa pengetahuan dibentuk secara sosial, yaitu terhadap apa yang masing-masing partisipan kontribusikan dan buat secara bersama-sama. Sehingga perkembangan pengetahuan yang dihasilkan akan berbeda-beda dalam konteks budaya yang berbeda. Interaksi sosial, alat-alat budaya, dan aktivitasnya membentuk perkembangan dan kemampuan belajar individual. Vygotsky melihat bahwa alat-alat budaya (termasuk di dalamnya kertas, mesin cetak, komputer dan lain-lain) dan alat-alat simbolik (seperti sistem angka, peta, karya seni, bahasa, serta kode dan lambang) memainkan peran penting dalam perkembangan kognitif. Sistem angka romawi misalnya punya keterbatasan untuk operasi perhitungan; berbeda dengan sistem angka arab yang biasa kita gunakan yang mempunyai lambang nol, bisa dibentuk pecahan, nilai positif dan negatif, menyatakan bilangan yang tak terhingga besarnya dan lainnya. Sistem angka yang dipakai adalah alat budaya yang mendukung berpikir, belajar dan perkembangan kognitif. Sistem simbol ini diberikan dari orang dewasa ke anak melalui interaksi formal ataupun informal dan pengajaran.

Lebih lanjut Vygotsky menekankan bahwa semua proses mental tingkat tinggi, seperti berpikir dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologi seperti bahasa, lambang dan simbol. Orang dewasa mengajarkan alat-alat ini ke anak dalam kegiatan sehari-hari dan si anak menginternalisasi hal tersebut. Sehingga alat psikologis ini dapat membantu siswa meningkatkan perkembangan mental dan berpikirnya. Pada saat anak berinteraksi dengan orang tua atau teman yang lebih mampu, mereka saling bertukar ide dan cara berpikir tentang representasi dan konsep. Sehingga pengetahuan, ide, sikap dan sistem nilai yang dimiliki anak berkembang seperti halnya cara yang dia pelajari dari lingkungannya.


IV. Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Inggris Berbasis Literasi

Dalam melaksanakan pembelajaran Bahasa Inggris berbasis literasi, terdapat beberapa hal yang harus digarisbawahi. Menurut Wells (1987) seperti yang dikutip Alwasilah (2005) terdapat empat tingkatan literasi sesuai masing-masing jenjang pendidikan yaitu:
 Performative Level; sekadar mampu membaca dan menulis
 Functional Level; kemampuan menggunakan bahasa untuk keperluan hidup (skill for survival) seperti membaca manual atau mengisi formulir permohonan kartu kredit. Bahasa Inggris SMP didesain untuk membekali siswa mencapai literasi tingkat fungsional ini.
 Informational Level; kemampuan mengakses pengetahuan dalam bahasa Inggris. Literasi lulusan SMA diharapkan mencapai tingkat ini.
 Epistemic Level; kemampuan mentransformasi pengetahuan dalam bahasa Inggris.
Selain penekanan pada masing-masing tingkatan tersebut, yang perlu digarisbawahi juga adalah prinsip literasi adalah siklus lisan ke tulisan. Artinya keterampilan berkomunikasi lisan merupakan prasyarat untuk membangun keterampilan komunikasi tulis. Literasi merupakan rangkaian dari lisan (kelas 1 SMP) ke tulisan (kelas 3 SMA). Namun meski bahasa Inggris SMP berorientasi pada komunikasi lisan, siswanya juga diperkenalkan kepada komunikasi tulis secara bertahap, khususnya bahasa tulis ragam lisan.

Untuk menjamin agar ragam lisan tidak mudah dilupakan, setiap unit pengajaran wacana atau teks disusun menjadi empat tahap dan dua siklus, sehingga kemudian metode pembelajaran ini dikenal dengan model Four Steps Two Cycles, seperti yang dikutip dari modul Depdiknas: Landasan Filosofis dan Teoritis Pendidikan Bahasa (2004), juga Alwasilah (2005) dan Listyani (2007). Model Four Steps Two Cycles merupakan model pembelajaran bahasa Inggris yang dikembangkan guna menciptakan pengalaman belajar yang berangkat dari siklus lisan ke siklus tulis; yang dalam masing-masing siklusnya memiliki empat tahapan. Empat tahapan tersebut meliputi:

1. Building Knowledge of Text dimana guru memperkenalkan topik yang akan dipelajari, konteks budaya, kosa kata, tata bahasa;
2. Modelling of Text adalah tahap pengenalan teks lisan ataupun tulis kepada siswa, ini adalah tahap pemajangan (exposure) terhadap teks percakapan, keterampilan yang dilatihkan adalah membaca, terutama teks-teks singkat seperti menu makanan di restoran, cara menghidupkan kompor gas, cara memasak nasi goreng, dan sebagainya;
3. Joint Construction of Text menciptakan kolaborasi antarsiswayang menghasilkan teks sebagai hasil kerja sama. Misalnya, bila pada tahap sebelumnya para siswa membicarakan nasi goreng, selanjutnya mereka belajar membuat resep nasi kuning; dan dalam tahap terakhir
4. Independent Construction of Text, siswa diharapkan mampu melakukan percakapan atau monolog dan mampu menulis teks sesuai dengan genre yang dipelajari, misalnya bagaimana membuat bakmi goreng sebagai makanan kesukaannya.
Walaupun secara garis besar proses belajar mengajar digambarkan dalam empat tahapan, dalam prakteknya proses tersebut dilalui dua kali. Artinya, siklus pertama difokuskan pada bahasa lisan dan siklus kedua difokuskan pada bahasa tulis.

Secara umum, antara Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan apa yang disebut sebagai KBL ini memiliki ruh yang sama. Keduanya bermaksud membangun keterampilan berkomunikasi lisan dan tulis. Hanya, KBL mengisyaratkan untuk jauh lebih rinci dan terfokus dalam mendeskripsi kompetensi. Secara singkat Alwasilah (2005) menekankan bagaimana KBL berbeda dari KBK sebagai berikut. Pertama, secara eksplisit kurikulum SMP berorientasi pada pengembangan kompetensi komunikasi lisan, sedangkan kurikulum SMA pada pengembangan kompetensi komunikasi tulis.

Kedua, kompetensi berwacana (discourse competence) menjadi sentral sedangkan kompetensi lainnya dianggap sebagai kompetensi penunjang. Berwacana berarti memroduksi teks yang spesifik untuk konteks tertentu. Karena itu, kompetensi dibahasakan sangat spesifik dengan menyebutkan tindak bahasa (speech act) seperti bagaimana memulai pembicaraan, meminta maaf, meminta izin, dan mengakhiri percakapan.
Ketiga, KBK menjadikan tema sebagai titik berangkat sehingga polanya adalah let's talk about something. Sebaliknya, KBL menjadikan tindak bahasa sebagai titik berangkat sehingga polanya adalah let's do something with language. Dengan pola ini, tujuan pembelajaran terasa lebih aktif dan agresif.

Keempat, KBL tidak mencantumkan tema-tema untuk ditampilkan di kelas. Yang penting adalah pencapaian kompetensi yang dinyatakan dalam tindak bahasa, sedangkan bahan ajarnya dapat dicari sendiri. Teknik dan metodenya pun diserahkan kepada guru. KBL, dengan demikian, tidak membongkar-pasang kurikulum, tetapi lebih memperkaya pemahaman kita tentang kompetensi berbahasa dan membantu kita memformulasi tujuan pembelajaran dan memilih jenis teks secara lebih spesifik.



V. Kesimpulan

Membekali siswa dengan kompetensi berbahasa Inggris agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat modern telah merupakan kebutuhan jika tidak boleh disebut tuntutan. Karenanya pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah/madrasah seharusnya benar-benar mengaplikasikan pendekatan mengajar berbasis literasi, yang menekankan penggunaan bahasa secara wajar dan otentik guna mengembangkan life skills. Pendekatan semacam ini idealnya mendorong kemampuan siswa dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat.
Jika tingkat literasi masyarakat kita sudah meningkat –dimana literat disini bermakna bahwa seseorang memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya- maka akan ada banyak sekali dampak positif bagi kehidupan berbangsa secara global. Lulusan SMA akan lebih punya daya saing, kemampuan mereka untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya lebih terbuka, kapasitas mereka untuk menjadi bagian dari solusi –dan bukan menjadi bagian dari masalah- juga akan meningkat, hingga diharapkan akan ada jauh lebih banyak generasi literat yang berdaya dan berkontribusi lebih dalam masyarakat. This is the real education should be: menghasilkan ‘manusia’, dan bukan mencetak mesin-mesin berbentuk manusia yang hanya bisa menjelaskan tanpa bisa mencipta, hanya bisa memahami gejala tanpa bisa mengatasi masalah, dan mungkin juga hanya bisa mencapai skor TOEFL 500 tanpa bisa berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut. 


Daftar Pustaka

______________. Kurikulum Bahasa Inggris 2004, Depdiknas

______________. Landasan Filosofis-Teoritis Pendidikan Bahasa Inggris,
Depdiknas, 2004

Alwasilah, A. Chaedar. 2005. Kurikulum Berbasis Literasi.
www.pikiranrakyat.com. Diakses pada 8 Pebruari 2010.
Artsiyanti, Diba. 2002. Bagaimana Meningkatkan Mutu Hasil Pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah. Diakses pada 16 Maret 2010.
Celce-Murcia, Z. Dornyei, S. Thurrel. 1995. Communicative Competence: a
Pedagogically Motivated Model with Content Specifications. Issues in
Applied Linguistics, 6/2.

Djiwandono, Patrisius Istiarto. 2009. Upaya Bangsa Mempelajari Bahasa Asing:Sejauh Mana dan Mau Kemana? Linguistik Indonesia. Tahun ke-27 Nomor 1. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Echols, John M dan Hasan Shadily. 1995. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Furchan, Arief. 2009. Pembelajaran Bahasa Inggris di Lembaga Pendidikan Islam di Millenium III. Www.Pendidikanislam.Net/Index.Php/Makalah/41-Makalah-Tertulis/265-Pembelajaran-Bahasa-Inggris-Bernyansa-Islam-Memasuki-Millenium-Iii. Diakses pada 16 Maret 2010.
Oxford Advanced Learner’s. 1989. Oxford: Oxford University Press.

Kern, R. 2000. Literacy and Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.

Manulang, Marihot. 2009. Dari Membaca Menuju Generasi yang Literat.
www.mhariansib.com. Diakses pada 8 Pebruari 2010.
Media Indonesia. Edisi 6 Nopember 2000. Pengajaran Bahasa Inggris Gagal Total.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Riza, Faisol. 2006. Kegagalan UAN dalam Reformasi Pendidikan. Edisi 540/14.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sumintono, Bambang. 2009. Pembelajaran Lanjutan dengan Teori Konstruktivis.
http://netsains.com/2009/02/pembelajaran-lanjutan-dengan-teori-konstruktivis. Diakses pada 5 Mei 2010.

Widiyanto, Kelik Nursetiyo. 2008. Pendidikan Liberal; Alternatif Pendidikan
Nasional. Http://Maskelik.Multiply.Com/Journal/Item/19/Pendidikan_Liberal_Alternatif_Pendidikan_Nasional. Diakses pada 16 Maret 2010.

8 komentar:

  1. Gagal....itulah yang saya rasakan selama hampir 10 tahun terakhir ini. Ada perasaan kebingungan harus dari mana perbaikan ini dimulai. Tapi yang pertama-tama harus dibenahi adalah para guru bahasa Inggris sendiri...terutama guru bahasa Inggris level SMP. Banyak lho di lapangan guru bahasa INggris yang "tidak bisa " berbahasa Inggris....apalagi how to teach English(termasuk saya he he he).... Faktor lain yang menjadi kegagalan adalah bahwa bahasa Inggris di Indonesia adalah BAHASA ASING bukan bahasa kedua seperti di Malay atau Spore. Siswa tidak mampu/tidak dapat menerapkan bahasa inggris di luar sekolah secara langsung. ITULAH INTI PERMASALAHANNYA. Mau ngomong inggris dengan temen..pada malu semua-dikira sok pintar.Dengan guru?....waktu terbatas. Dengan orang tua? boro-boro.....kagak nyambung....jadi intinya kegagalan itu bersumber dari kurang tersedianya "environment" yang mendukung penggunaan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pendapat saya bu.....salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju banget, tapi sebagai guru yang punya tanggung jawab mendidik sebaiknya kita pandai-pandai mencari 'environment' yang mendukung itu, atau lebih bagus kalo bisa menciptakan, lewat komunitas anak2 bhs Inggris atau model2 klub speak in English misalnya.
      Malah dosen saya ngajarin utk ngomong sama cermin, ngomong sama sepatu, ngomong sama benda2 disekitar kita biar speakingnya lancar. Sayangnya ga intens lagi saya praktekkan karna kuatir dikira orang gila, hehehe

      Hapus
  2. pak agus,
    tepat sekali pak, pembelajaran bhs inggris kita memang jadi kurang kontekstual krn memang kurang didukung konteks [bapak menyebutnya sbg environment] yg kondusif bagi pengembangan keterampilan berbahasa anak. dan bhwa ini krn bhs inggris memang baru sebatas bhs asing & bukan bahasa kedua memang betul.
    inilah tantangannya.. bagaimanapun kita hrs membuat pengajaran EFL seoperasional & sekontekstual mungkin utk membekali siswa cakap berbahasa [inggris] utk tujuan praktis [being survive] maupun tujuan akademis [utk pengembangan intelektual] mereka.

    yg penting jgn pesimis ya pak,
    slalu ada hari esok yg lebih cerah :)

    BalasHapus
  3. aww. salam kenal, sep 2009 saya maju proposal tesis dengan judul Pembelajaran Bahasa Arab berbasis Literasi di hadapan team penguji UIN Syahid Jkt yang futuristik, Dr. Fuad Jabali, MA, Dr. Yusuf Rohman, MA dan Prof. Dr. Soewito, MA. Al hamdulillah lulus dgn nilai 87 (lumayan) drpada 60. Untuk selanjutnya saya macet karena minimnya referensi di UIN serta sangan asing di UIN/ IAIN yang jarang kutemukan dosen bahasa Arabku yang bisa nyambung dengan tema di atas. Tlg kasih solusi, tmn2 siapa aja yang sudah membahas tentang literasi dan pembelajaran bahasa. Sy punya bukunya Richard Kern 2000, Teaching Language And Literacy. Ada masukan ga? kutunggu ya...

    BalasHapus
  4. wah, telat ya saya jawabnya?:)
    klo memang msh prlu coba bapak kontak ibu Prof.Dr.Chuzaimah Dahlan Diem, MLS yg saat pengukuhan guru besarnya di Unsri membahas literasi, dan memang dalam banyak forum juga membahas seputar literasi dlm pembelajaran bahasa, di chuzaidiem@yahoo.com. saat ini beliau sedang di amerika tp mngkin bisa membantu memberi daftar referensi.

    BalasHapus
  5. Saya Royan, mbak. Guru B.Inggris di sebuah SMA swasta. Saya juga sering kaget ketika mendapati siswa baru saya (kelas X), nggak ngerti b.inggris, baik dari segi perbendaharaan kata, maupun grammar rule-nya, apalagi kalo diminta berekspresi secara lisan untuk konteks-konteks tertentu. Malah babar blas. Saya jadi bertanya-tanya apa sih yang mereka pelajari ketika SMP. Setelah saya membaca tulisan mbak, saya sedikit punya gambaran. Trims ya mbak.
    Bahwa b.inggris SMP diorientasikan pada kemampuan lisan dan secara bertahap kepada kemampuan tulis, saya jadi ingat ketika saya jadi guru tamu di sebuah SMP negeri, dan saya sedikit tanya tentang cara guru mereka mengajar, mereka bilang disuruh menghafal dialog banyak banget tiap di kelas. Saya jg yakin pastinya mereka diterangkan tentang socio-context dari dialog2 tsb. Ironisnya, nggak beberapa lama kemudian mereka sudah lupa, alias apa yang sdh diajarin nggak mbekas. Ketika saya coba mengajukan pertanyaan dengan terlebih dahulu mengajukan dua kalimat: Andy is in the library. He is reading, kemudian saya tanya: Where is Andy? What is he doing? mereka hanya melongo. Kalau berkomunikasi dengan ide sederhana seperti itu saja mereka nggak bisa, ngapain juga kita mesti nerapin kurikulum yg isinya bagaimana cara buat bakmi dalam bahasa Inggris?
    Usia SMP di negara kita kayaknya masih termasuk usia awal pembelajaran bahasa, karena Inggris adalah b.asing di sini. Anehnya struktur pembelajarannya terbalik. Seharusnya dibanyakin input dulu (listening + reading), baru kalo mereka udh siap, diorientasikan ke output (speaking + writing).
    Namun memberikan input yang bagus juga terkendala banyak hal di sini, seperti lingkungan yang nggak mendukung, alokasi waktu yang sepertinya 'kurang', guru2 yg krng kompeten, materi yang perlu dipertanyakan ketepatan sasarannya (seringkali terlalu sulit untuk tingkat kemampuan siswa, juga bkn fitur bahasa yg benar-benar mereka butuhkan untuk berbicara secara praktis dalam keseharian), keotentikannya (saya belum pernah menemui satu siswa pun yang tahu bahwa bahasa Ingg nya 'Naik apa kamu ke sini' adalah 'How did you get here?', artinya materinya bukan real English, melainkan kebanyakan berbau mother tongue). Saya jadi ingat dengan cara saya belajar bahasa Inggris dulu. Bermodal grammar dasar yg saya terima di SMP dan SMA (dulu metodenya nggak secanggih dan senjlimet sekarang ya mbak :D) saya mengembangkan sendiri b.inggris saya dengan memperbanyak input; membaca teks dan mendengarkan audio, belajar dari film, mengimitasi ekspresi2 bhsanya, dst. Akhirnya koq ya bisa. Skor TOEFL saya bagus, dan alhamdulillah saya juga cukup bisa ngomong dengan native speaker.
    Kadang saya merenung, dimana sih sebetulnya letak kesalahan pembelajaran bahasa Inggris di negeri kita ini? I truly appreciate ur article. It is awesome. Namun, saya lebih menangkap kesan tulisan mbak ini sebuah pembelaan terhadap kurikulum b.ingg yg sudah ada. Kalopun ada sedikit nada kritik, itu hanya diarahkan ke segi kegagalan teknis saja. Nggak apa2 kalo saya kritik ya mbak :D Trims.

    BalasHapus
  6. Good informative post. I will visit your site often to keep updated.MargahayuLand 42 Tahun Membangun Ruang Hidup Some interesting and well researched information on cameras. I'll put a link to this site on my blog. Cari Uang Lewat Ekiosku.com

    BalasHapus
  7. saya mendukung makalah ini , memang faktanya siswa dari sd sampai perguruan tinggi diajarkan bahasa inggris kenyataan siswa kita tidak mampu mengaplikasikan berbahasa inggris , pelajaran bahasa ingggris disekolah lebih titekan kepada tata bahasa dari pada aplikasi berbahasa

    BalasHapus

any ideas to share?