
Strategi TransTV untuk menampilkan Farah Quinn sebagai chef pada acara cooking guide berjudul Ala Chef pada Sabtu dan Minggu pagi tampaknya memang brilian. Farah menjadi icon penting yang membuat acara berslogan delicious and sexy food ini melesat diantara acara kuliner serupa di channel TV lain. Tidak hanya terlihat atraktif [dengan wajah rupawan dan kulit sawo matangnya yang eksotis], Farah juga amat gesit dan unik dengan gayanya yang orisinil. Logat bahasanya yang kebule-bulean mudah akrab di telinga pemirsanya dengan kata-katanya yang khas, “Woalaa, this is it! Pempek bundar ala Chef Farah Quinn!”. Siapa yang tidak ingat dengan gaya khasnya saat mengangkat hasil karyanya setelah acara masak memasak kelar?
Tapi yang lebih penting, Farah Quinn yang ternyata asli Palembang ini telah menjadi icon baru di dunia kuliner Indonesia, yang selama ini didominasi oleh genre laki-laki, dan kalaupun beberapa diantaranya wanita, amat jarang yang tipikal Farah: dengan gayanya yang gaul, fashionable, dan terbilang masih amat muda [doi kelahiran 1980]. Farah yang bersuamikan orang asing ini memilih untuk menekuni kuliner sebagai latar belakang pendidikan, lalu menerjuni dunia masak memasak sebagai profesinya [Farah adalah chef dengan spesialisasi pastry, pernah kuliah di Pittsburgh Culinary Institute dan menjadi ahli pastry di Arizona Biltmore Resort]. Padahal, kalau mau jujur, banyak sekali para wanita yang mengkategorikan dirinya ‘modern’ -apalagi dari kalangan wanita karir dengan keadaan finansial yang baik- yang mau bercucuran air mata karena mengupas bawang merah, membersihkan ikan mentah yang bau amis dan kulitnya tersiram minyak saat menggoreng kerupuk di dapur.
Aku adalah satu diantara banyak wanita yang tidak menaruh minat terlalu banyak pada peran domestik wanita dalam rumahtangga: amat jarang memasak sendiri, dan urusan mencuci baju serta menyetrikanya juga didelegasikan dengan hormat pada pembantu. Bahkan saat weekend dimana tidak ngantor sekalipun, aku lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca banyak buku selama berjam-jam, kalau pas sedang tidak jalan-jalan ke mol, shopping, atau sekedar nonton TV di kamar. Dan jika sedang ingin makan enak, solusinya cuma satu: berwisata kuliner keluar, gampang kan? Gitu aja kok repot. [Untungnya sejauh ini suami belum complain terlalu kenceng. atw pada saat complain pas kebetulan aku lagi pake headset :D].
Kengapa ga memasak sendiri? Selain memang ga suka dan tentu ga bisa [karena ga belajar], jujur aku masih punya paradigma yang less favorable tentang aktivitas domestik para istri. Aku sering menganggap aktivitas memasak, mencuci, dan menyetrika itu selain tidak menarik juga kurang penting, yang bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk pembantu rumah tangga. I love being the thinker, not the doer, begitu justifikasi inside my mind. Karenanya aku lebih suka aktivitas-aktivitas yang menurutku butuh pemikiran, bukan butuh tenaga yang membuat kita berkeringat-keringat saat melakukannya. Okelah tentu kadang-kadang aku melakukannya, tapi secara serius dan total melakukannya memang belum pernah terpikirkan. Nungguin hidayah kali ya :D. But at least, aku sudah mengkliping buku resep masakan dari tabloid-tabloid lho, upaya yang lumayan kan? Hahaha.
Sampai kemudian Mrs. Farah Quinn dengan acara TVnya itu merombak stigma bahwa memasak bukanlah bagian penting dari aktivitas wanita modern saat ini. Melihatnya bersemangat meracik bahan-bahan yang bahkan aku tidak tahu namanya, kreativitasnya membuat aneka variasi masakan, dan kebiasaannya mencicipi hasil karyanya dengan orang-orang yang ditemuinya, tak pelak membuatku iri hati. Betapa beruntungnya suaminya, pikirku. She’s definitely a type of modern woman with great ability to grow his husband’s love by her delicious cuisine! Aku pernah dengar bahwa salah satu strategi melumpuhkan hati suami adalah melalui perutnya. Kubayangkan betapa asyiknya menjadi seorang wanita yang tak hanya pintar otaknya, pintar berdandan, pintar merayu [hehehe], tapi juga pintar memasak! Bukankah itu menyempurnakan modal seorang wanita?
Lagipula tidak benar juga aktivitas memasak tidak melibatkan pemikiran, justru hanya the thinker yang bisa berinovasi untuk memvariasikan masakan-masakannya hingga selalu ada kreasi baru dan pasti mak nyoss. Every chef is absolutely a thinker! Belum lagi pahala yang bercucuran dibalik tiap tetes keringat saat acara masak-memasak itu, kayaknya lumayan buat tabungan amal soleh istri.
Seperti kata Farah, “Cooking bukan hanya buat si mbok dan dapur juga bukan pekerjaan yang tidak seksi...”. She’s absolutely true for this! Yeah, mudah-mudahan, kalaupun tidak sekarang, akan tiba masanya dimana aku akan berkata, “Woalaa.. this is it! Pempek lenjer ala Chef Agustina Djihadi!” sambil menyorongkan nampan besar berisi pempek lenjer yang memang aku bikin sendiri, bukan hasil beli dari warung Pempek Pak Raden :D