Jumat, April 16, 2010

Tukang Koran itu VS Gayus Tambunan

Sudah hampir pukul 8 malam saat aku menunggu Si Mas di parkiran PS seusai belanja bulanan lalu tiba-tiba seorang anak muda mendekat, “Koran, Mbak”. Aku menolak dengan isyarat. Sudah malam begini, beli koran juga beritanya udah nggak fresh lagi, pikirku. ”Jadilah mbak buat makan..”, ia lalu berkata lagi dengan suara lirih. Aku jadi menoleh, memandangnya sejenak. Ia pemuda tanggung berbadan kurus tinggi yang dibungkus dengan selembar kaos kumal, wajahnya tirus dan polos. ”Malam-malam begini koran seribu yah?”, aku yang terbiasa menawar dagangan apapun dengan spontan menawar korannya. ”Dua ribu ya Mbak..”, pintanya memelas. Aku lantas merogoh dua lembar ribuan dan menerima koran dari tangannya. ”Makasih Mbak..”, ucapnya sambil berlalu.

Aku memandangnya di kejauhan sambil berpikir tentang dua hal tak biasa dari penjual koran itu. Pertama, jarang sekali masih ada penjual koran yang masih berkeliaran malam-malam, ditambah hari gerimis pula. Dimana-mana orang membeli koran di pagi hari untuk memperoleh berita ter-update yang terjadi kemarin. Tiap loper koranpun pada sore atau malam hari sudah pulang kandang atau mengembalikan lembar-lembar koran yang tersisa pada agen. Memutuskan tetap berjualan pada saat hari telah gelap memberi kesan bahwa pemuda tanggung itu memang keukeuh pengen ada tambahan uang hari ini.

Hal kedua, kata-katanya: ”Untuk makan..”, itu mengingatkanku bahwa masih banyak orang-orang yang bekerja dengan tujuan benar-benar ”untuk makan”: mengumpulkan recehan demi recehan yang bisa dibelikan nasi bungkus untuk mengganjal perut untuk hari itu. Coba pikir, untuk makankah kita bekerja sekarang? Kita bekerja banting tulang untuk beli apartemen, ganti mobil yang lebih gress, membiayai S3, menyekolahkan anak di sekolah unggulan yang amit-amit mahalnya, karena memang bekerja ’untuk makan’ itu levelnya sudah kita tinggalkan. Jika memang bekerja sekedar menyambung hidup dan bisa makan, kita nggak akan korupsi. Gayus Tambunan nggak akan merasa tidak cukup dengan tunjangan renumerasinya yang 12 juta jika memang ia bekerja untuk makan.

Jika memang kita bekerja untuk makan, toh makan cuma 3 kali sehari. Jika kita bekerja untuk papan, toh dengan sebuah rumah yang layak saja kita bisa tinggal dengan nyaman, tidak perlu yang seharga 2 M dengan jumlah yang fantastis pula: kapan lagi kita bisa meniduri rumah-rumah itu jika satu hari kita hanya singgah dirumah selama 8 jam untuk tidur? Jika kita bekerja untuk sandang, bukankah dalam sehari paling banyak kita memakai baju hanya beberapa lembar saja, bukan satu lemari?

Bukan. Aku bukan sedang propose gaya hidup sederhana. Jika memang secara finansial mampu, kewajiban zakat sodakoh telah purna tertunaikan dalam tiap gram harta kita, silahkan saja mau punya gaya hidup mewah dan nyaman selama itu tidak merugikan orang lain apalagi merugikan negara [walaupun hidup sederhana tetap yang lebih mendekatkan kita pada tawadhu]. Namun masalahnya, banyak dari kita yang kena penyakit pengen kaya tapi nggak mikir kemampuan; PNS golongan III/a tapi mau punya sederet mobil mewah lalu akhirnya jadi markus pajak misalnya. Kasiaaaan deh.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS 14: 7)

Mudah-mudahan keinginan mengaktualisasikan diri (termasuk godaaan untuk punya jetset life style) tidak lantas membuat kita menjadi kufur nikmat apalagi ’memasukkan diri sendiri’ pada kategori orang-orang yang berbuat dzalim.