Kamis, Agustus 20, 2009

Farah Quinn: Merobohkan Stigma bahwa Memasak bukan Aktivitas Wanita Modern


Strategi TransTV untuk menampilkan Farah Quinn sebagai chef pada acara cooking guide berjudul Ala Chef pada Sabtu dan Minggu pagi tampaknya memang brilian. Farah menjadi icon penting yang membuat acara berslogan delicious and sexy food ini melesat diantara acara kuliner serupa di channel TV lain. Tidak hanya terlihat atraktif [dengan wajah rupawan dan kulit sawo matangnya yang eksotis], Farah juga amat gesit dan unik dengan gayanya yang orisinil. Logat bahasanya yang kebule-bulean mudah akrab di telinga pemirsanya dengan kata-katanya yang khas, “Woalaa, this is it! Pempek bundar ala Chef Farah Quinn!”. Siapa yang tidak ingat dengan gaya khasnya saat mengangkat hasil karyanya setelah acara masak memasak kelar?

Tapi yang lebih penting, Farah Quinn yang ternyata asli Palembang ini telah menjadi icon baru di dunia kuliner Indonesia, yang selama ini didominasi oleh genre laki-laki, dan kalaupun beberapa diantaranya wanita, amat jarang yang tipikal Farah: dengan gayanya yang gaul, fashionable, dan terbilang masih amat muda [doi kelahiran 1980]. Farah yang bersuamikan orang asing ini memilih untuk menekuni kuliner sebagai latar belakang pendidikan, lalu menerjuni dunia masak memasak sebagai profesinya [Farah adalah chef dengan spesialisasi pastry, pernah kuliah di Pittsburgh Culinary Institute dan menjadi ahli pastry di Arizona Biltmore Resort]. Padahal, kalau mau jujur, banyak sekali para wanita yang mengkategorikan dirinya ‘modern’ -apalagi dari kalangan wanita karir dengan keadaan finansial yang baik- yang mau bercucuran air mata karena mengupas bawang merah, membersihkan ikan mentah yang bau amis dan kulitnya tersiram minyak saat menggoreng kerupuk di dapur.

Aku adalah satu diantara banyak wanita yang tidak menaruh minat terlalu banyak pada peran domestik wanita dalam rumahtangga: amat jarang memasak sendiri, dan urusan mencuci baju serta menyetrikanya juga didelegasikan dengan hormat pada pembantu. Bahkan saat weekend dimana tidak ngantor sekalipun, aku lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca banyak buku selama berjam-jam, kalau pas sedang tidak jalan-jalan ke mol, shopping, atau sekedar nonton TV di kamar. Dan jika sedang ingin makan enak, solusinya cuma satu: berwisata kuliner keluar, gampang kan? Gitu aja kok repot. [Untungnya sejauh ini suami belum complain terlalu kenceng. atw pada saat complain pas kebetulan aku lagi pake headset :D].

Kengapa ga memasak sendiri? Selain memang ga suka dan tentu ga bisa [karena ga belajar], jujur aku masih punya paradigma yang less favorable tentang aktivitas domestik para istri. Aku sering menganggap aktivitas memasak, mencuci, dan menyetrika itu selain tidak menarik juga kurang penting, yang bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk pembantu rumah tangga. I love being the thinker, not the doer, begitu justifikasi inside my mind. Karenanya aku lebih suka aktivitas-aktivitas yang menurutku butuh pemikiran, bukan butuh tenaga yang membuat kita berkeringat-keringat saat melakukannya. Okelah tentu kadang-kadang aku melakukannya, tapi secara serius dan total melakukannya memang belum pernah terpikirkan. Nungguin hidayah kali ya :D. But at least, aku sudah mengkliping buku resep masakan dari tabloid-tabloid lho, upaya yang lumayan kan? Hahaha.

Sampai kemudian Mrs. Farah Quinn dengan acara TVnya itu merombak stigma bahwa memasak bukanlah bagian penting dari aktivitas wanita modern saat ini. Melihatnya bersemangat meracik bahan-bahan yang bahkan aku tidak tahu namanya, kreativitasnya membuat aneka variasi masakan, dan kebiasaannya mencicipi hasil karyanya dengan orang-orang yang ditemuinya, tak pelak membuatku iri hati. Betapa beruntungnya suaminya, pikirku. She’s definitely a type of modern woman with great ability to grow his husband’s love by her delicious cuisine! Aku pernah dengar bahwa salah satu strategi melumpuhkan hati suami adalah melalui perutnya. Kubayangkan betapa asyiknya menjadi seorang wanita yang tak hanya pintar otaknya, pintar berdandan, pintar merayu [hehehe], tapi juga pintar memasak! Bukankah itu menyempurnakan modal seorang wanita?

Lagipula tidak benar juga aktivitas memasak tidak melibatkan pemikiran, justru hanya the thinker yang bisa berinovasi untuk memvariasikan masakan-masakannya hingga selalu ada kreasi baru dan pasti mak nyoss. Every chef is absolutely a thinker! Belum lagi pahala yang bercucuran dibalik tiap tetes keringat saat acara masak-memasak itu, kayaknya lumayan buat tabungan amal soleh istri.

Seperti kata Farah, “Cooking bukan hanya buat si mbok dan dapur juga bukan pekerjaan yang tidak seksi...”. She’s absolutely true for this! Yeah, mudah-mudahan, kalaupun tidak sekarang, akan tiba masanya dimana aku akan berkata, “Woalaa.. this is it! Pempek lenjer ala Chef Agustina Djihadi!” sambil menyorongkan nampan besar berisi pempek lenjer yang memang aku bikin sendiri, bukan hasil beli dari warung Pempek Pak Raden :D

Melahirkan Masterpiece, Apapun Profesi Kita


Martin Luther King mungkin terdengar lebai saat berkata ini: "Jika seseorang terpanggil untuk menjadi tukang sapu jalanan, hendaknya ia menyapu jalanan sebagaimana Michael Angelo melukis dan Beethoven menciptakan musik, atau Shakespeare menulis puisi. Hendaknya ia menyapu dengan sangat baik hingga segenap isi surga dan bumi menghentikan kegiatan mereka dan berkata: Disini tinggal seorang penyapu jalanan yang agung yang menjalankan tugasnya dengan amat baik!”. Walaah. Bagaimana mungkin mengharapkan kinerja seorang tukang sapu menyamai para maestro bertangan dingin yang telah melahirkan banyak masterpiece?

That’s what I think sampai kemudian aku berinteraksi dengan seorang tukang koran yang biasa mangkal di los Komperta Plaju, dekat toko-toko dimana orang biasa membeli berbagai kebutuhan mulai dari sembako hingga ATK. Disitu mangkal pula berbagai macam jualan makanan mulai dari warung nasi goreng dan bakso (dulu jaman sekolah disinilah tempat favorit nraktir kalo ada yang ulangtahun), Ayam Kalasan, martabak telor, roti bakar Bandung, burger, sampe gorengan. Ada juga toko fotokopi dan beberapa lapak yang menjual koran dan majalah.

Banyak tukang koran yang ramah, they’re everywhere. But I mean, this person, bukan hanya sekedar ramah tapi tampak sangat menikmati apa yang dilakukannya, bahkan (tampak) amat menikmati hidupnya. U will know what I mean if you look at his eyes. “Korannya ibu..!“, sapaan wajib itu selalu dilakukannya dengan senyum tulus yang lebar. Aku bahkan melihat matanya bersinar-sinar oleh semangat dan harapan. “Majalah X baru udah terbit bu, majalah Y juga. Atau mau majalah Z? Edisi khusus lho bu!”, saat aku membacai headline berbagai koran atau highlight pada cover berbagai majalah, dia pasti mengiringi dengan sekilas ‘guidance’. Bahkan jika aku berdiri lama disitu untuk membaca sebuah artikel yang menarik sekalipun, dia akan tetap sabar menanti sambil berkata, “Boleh bu, diliat-liat dulu..”, dengan wajah yang amat cerah. Setelah mengobrak-abrik dagangannya dan akhirnya memilih satu dua atau tiga diantaranya, ia akan berkata, “Oke ibu, jadi total semuanya Rp 25.000, “ Jika ternyata sebenarnya adalah Rp 25.500, misalnya. Kadang aku berpikir, bukannya kita yang mensodakohkan uang kembalian tapi justru tukang koran yang mensodakohkan margin keuntungannya yang ga seberapa.

Pernah saat ia kehabisan kantong kresek dia berkata, “Tolong tunggu sebentar ya Bu, saya beli kantong kresek dulu”. Ia bela-belain mau membelikan kantong kresek untuk membungkuskan koran yang harganya ga seberapa. “Ga usah Pak, begini aja”, tolakku langsung. “Makasih bu ya…”, katanya dengan wajah lega, lalu dengan sigap mengaturkan arus lalu lintas agar kendaraan kita bisa lewat dengan nyaman. Bayangkan, bahkan ia berperan sebagai tukang parkir! Dan itu dilakukannya dengan senyuman yang tak pernah surut, dan wajah yang amat cerah. Aku amat mengenali tipikal wajah seperti itu; bukan wajah yang tersenyum karena menghendaki sesuatu dari kita, bukan wajah yang tersenyum karena merasa tertuntut untuk itu, bukan juga wajah yang tersenyum dalam penyamarannya untuk terlihat bahagia. He’s totally not fake.

What I’m going to say is: bahkan seorang tukang koranpun telah sukes menularkan aura positif pada orang-orang sekitarnya, tanpa dia niatkan. Don’t forget that he’s only a newpaper vendor! Aku benar-benar tidak pernah melihat orang jualan seceria itu! Yang dijual hanya koran, namun seolah-olah yang membeli adalah customer super penting yang hendak membeli berlian. Sangat berbeda dengan kebanyakan pedagang yang menjalankan ‘tugas’nya dengan amat standard, bahkan seadanya (Kecuali kita sedang menghadapi transaksi super mahal). See? Ilmu marketing selama ini mengajarkan kompetensi untuk melakukan pelayanan public yang excellent, tapi itu lebih atas asas profit-oriented. Training-training berbudget mahal yang diperuntukkan untuk public relations, staf marketing, resepsionis, atau apapun yang menjadi garda terdepan yang memegang pencitraan perusahaan, hampir selalu dealing with changing behavior, not changing the PARADIGM. Masih untung jika marketernya sendiri yang dengan kesadaran penuh untuk memiliki paradigma untuk berprinsip: I do deeds not because the people are nice, but because I am! (“Gue baik bukan karena lo-lo pada baik ama gue, tapi karena emang gue orangnya baik!”). I really think that, orang-orang seperti ini sungguh merupakan aset penting bagi tempatnya bernaung, karena ia akan bisa diandalkan tanpa mengenal cuaca dan musim.

Seorang sahabat berkata, “Orang-orang besar itu bukan besar karena mengejar kebesaran, tapi karena they love what they’re doing. The rest will follow”. To tell the truth,I really think so. Performa orang-orang yang mencintai pekerjaannya sangat mengagumkan. They do something NOT because are asked to do so, but because they want to do so. Logikanya saja, hasil kerja siapa yang akan lebih baik: mereka yang kerja karena perintah atasan semata-mata, atau mereka yang memang terpanggil & cinta sama pekerjaannya? Or I change the question: yang mana yang akan lebih kelihatan hepi saat kerja? I hope this is rhetoric :).

Maybe if we love what we’re doing and perform the best of us on it, kita sudah masuk pada kriteria yang disebut Oom Martin Luther King tadi. I believe that, melahirkan masterpiece bukan monopoli orang-orang besar, dan apa yang disebut sebagai hal besarpun, sebenarnya akumulasi dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan excellent secara konsisten. Mungkin kita bisa mulai benih-benih excellence itu, dari meja kerja dihadapan kita? Yuk mariii..